Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dandelion Terakhir

24 Oktober 2018   16:18 Diperbarui: 24 Oktober 2018   16:23 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:sabrinaferri.it

Aku menengadah. Sudah begitu banyak bunga-bunga serupa kapas itu beterbangan memenuhi udara. Membuat napasku terengah dan tenggorokanku kering.

Sementara beberapa meter dari tempatku berdiri, Arya duduk berselonjor kaki. Tubuhnya yang kekar menimpa rerumputan yang menghampar. Ia membiarkan sebagian tanaman berakar serabut itu patah. Serta mengacuhkan satu dua batangnya menempel manja di sekitar celana jeans yang dikenakannya.

Barangkali inilah yang membedakan antara aku dengan Arya. Pria itu sangat pintar menyembunyikan perasaanya. Paling-paling ia mengekspresikan segala unek-uneknya dengan mengumbar tawa atau menggigiti batang rumput sampai gepeng dan terasa sepah.

Sementara aku, masih tetap dengan tabiat lamaku. Menyimpan segala sesuatu di dalam hati. Menumpuknya sedemikian rupa. Baru ketika dadaku terasa penuh dan sesak, aku akan berlari ke sini. Ke padang ilalang di balik bukit ini. Menghabiskan waktuku berlama-lama dengan meniup berbatang-batang bunga Dandelion sebagai pelampiasan, sepuasku.

"Sepertinya itu Dandelion yang terakhir, ya, Mayang?" suara Arya berkejaran dengan deru angin, bergaung di telingaku. "Kau mesti menunggu satu musim lagi untuk bisa mendapatkan bunga-bunga kapas itu. Tapi jangan khawatir, aku berjanji akan mengantarmu ke sini lagi!" Masih. Arya mencoba mempengaruhiku, agar aku menoleh.

"Bunga-bunga balon itu baru saja menyampaikan perasaanmu padaku, Mayang. Mereka sepakat bilang, kalau hari ini kau sedang cemburu berat padaku!" Arya mencecarku lagi dengan kata-katanya. Kali ini diselingi tawa khasnya yang renyah.

Dalam hati aku mengeluh. Dandelion sialan! Mengapa mereka tidak bisa menyimpan rahasiaku barang sedikit saja agar tidak diketahui oleh pria tengil itu?

Memang benar saat ini aku sedang cemburu. Cemburu yang amat sangat.

"Apalagi yang dikatakan bunga-bunga itu padamu?" Aku memalingkan wajah. Kulampiaskan perasaan kesalku dengan mempermainkan Dandelion terakhir di tangan, yang tangkainya meliuk-liuk tertiup angin. 

"Ayo, tiuplah Mayang! Setelah itu, kau bisa duduk di sini, di sebelahku. Menggigiti batang rumput-rumput ini bersamaku!" Arya berseru lagi.

Dandelion di tanganku tiba-tiba bergetar. Seolah-olah meminta agar aku segera meniupnya kuat-kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun