Matahari baru saja berkata kepada pagi,
aku ingin menjadi Ibumu. Sebab dengan menjadi Ibumu aku bisa memasak rerumputan. Kudapan lezat hewan-hewan. Menggemukkan bernas-bernas padi tuk sarapan sekawanan murai dan kenari. Juga menyiapkan susu sapi bergizi, bagi bayi-bayi. Yang tentu saja sebelumnya telah kuludahi.
Pagi lalu berkata kepada embun,
aku ingin menjadi Ibumu. Sebab dengan menjadi Ibumu aku bisa meninabobokkanmu. Menidurkanmu di atas pucuk-pucuk daun cemara. Memberimu mimpi paling indah dan penuh warna. Juga menghangatkan beningmu yang menggigil diterpa angin utara.
Embun berkata kepada rerumputan,
aku ingin menjadi Ibumu. Sebab dengan menjadi Ibumu aku bisa memandikanmu. Sewaktu-waktu. Membasuh luka hatimu karena beringasnya kemarau. Mencumbu ujung-ujungmu sebagai penawar rindu. Pada hujan yang hingga hari ini tak jua kunjung meluruh.
Rumput berkata kepada angin,
aku ingin menjadi Ibumu. Sebab dengan menjadi Ibumu aku bisa memandumu. Agar engkau tak lagi salah jalan. Seperti saat ini. Seharusnya kau bertiup ke arah timur. Bukan jalur selatan. Akibatnya musim merajuk. Hujan pertama pun enggan bersuluk.
Dan angin berkata kepada hujan,
aku ingin menjadi Ibumu. Yang siap menampung keluh kesahmu. Yang berabad-abad engkau rahasiakan. Yang menjelma menjadi kubangan dalam. Tempat para pecinta menyembunyikan kenangan. Lalu mereka mendewakan. Sekaligus meniadakan. Dan itu sungguh, membuatmu amat sangat kebingungan.
Hujan berkata kepada rembulan,
aku ingin menjadi Ibumu. Yang menyejukkan kegalauanmu. Agar purnama tak lagi datang sekali. Namun hadir berkali-kali. Menjadi penerang bumi yang gulita. Menyajikan pesta alam tak kunjung sirna. Menebarkan aura malam yang bahagia.
Rembulan menemui Matahari,
aku ingin menjadi Ibumu. Sebab dengan menjadi Ibumu aku bisa meredakan amarahmu. Yang menyengat tak tertahankan. Aku akan menyiapkan secawan salju serut. Untuk mendinginkan hatimu yang carut marut. Akibat ulah manusia. Yang mengotori udara semena-mena.
----
Lalu semua berebut ingin menjadi Ibu. Membuat aku yang benar-benar seorang Ibu. Berdiri. Terpaku. Diam. Gagu.Â
***
Malang, 24 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H