Matahari baru saja berkata kepada pagi,
aku ingin menjadi Ibumu. Sebab dengan menjadi Ibumu aku bisa memasak rerumputan. Kudapan lezat hewan-hewan. Menggemukkan bernas-bernas padi tuk sarapan sekawanan murai dan kenari. Juga menyiapkan susu sapi bergizi, bagi bayi-bayi. Yang tentu saja sebelumnya telah kuludahi.
Pagi lalu berkata kepada embun,
aku ingin menjadi Ibumu. Sebab dengan menjadi Ibumu aku bisa meninabobokkanmu. Menidurkanmu di atas pucuk-pucuk daun cemara. Memberimu mimpi paling indah dan penuh warna. Juga menghangatkan beningmu yang menggigil diterpa angin utara.
Embun berkata kepada rerumputan,
aku ingin menjadi Ibumu. Sebab dengan menjadi Ibumu aku bisa memandikanmu. Sewaktu-waktu. Membasuh luka hatimu karena beringasnya kemarau. Mencumbu ujung-ujungmu sebagai penawar rindu. Pada hujan yang hingga hari ini tak jua kunjung meluruh.
Rumput berkata kepada angin,
aku ingin menjadi Ibumu. Sebab dengan menjadi Ibumu aku bisa memandumu. Agar engkau tak lagi salah jalan. Seperti saat ini. Seharusnya kau bertiup ke arah timur. Bukan jalur selatan. Akibatnya musim merajuk. Hujan pertama pun enggan bersuluk.
Dan angin berkata kepada hujan,
aku ingin menjadi Ibumu. Yang siap menampung keluh kesahmu. Yang berabad-abad engkau rahasiakan. Yang menjelma menjadi kubangan dalam. Tempat para pecinta menyembunyikan kenangan. Lalu mereka mendewakan. Sekaligus meniadakan. Dan itu sungguh, membuatmu amat sangat kebingungan.
Hujan berkata kepada rembulan,