Kami sekumpulan perempuan berdarah dingin, itu benar. Kami tidak main-main dalam hal mengeksekusi, itu juga benar.
En sudah mengetahui rahasia itu. Dan ia kami nyatakan lulus sebagai anggota perkumpulan karena ia sama sekali tidak menolak mencicipi jamuan makan malam yang terhidang di atas meja. Daging kenyal berbahan dasar suami Nyonya Besar yang kurang ajar itu.Â
Yang mengaku setia tapi di belakang punggung masih saja bermain mata. Bahkan terhadap En, gadis bau lengkuas yang baru beberapa bulan mengabdi di rumah Nyonya Besar, Tuan sesekali kepergok berniat menyergapnya.
Aku adalah sahabat baik Nyonya Besar. Jika Nyonya Besar yang berjuluk Dewi Kematian itu tertawa, aku ikut tertawa. Nyonya menangis, aku tidak segan menyumbangkan airmata. Lalu ketika Nyonya mengadukan perihal kenakalan suaminya, akulah yang maju paling duluan.
Nyonya sudah melatihku. Bagaimana memasak lelaki hidung belang sedemikian rupa. Mengolahnya menjadi kudapan makan malam berbumbu dan bercita rasa super  duper yummy.
Aku tahu, En sama sekali tidak menyesal ikut bergabung dan menikmati pesta kami--malam itu di dekat sebuah pekuburan tua.Â
En mungkin hanya sedikit terkejut saja. Itu biasa. Sebagai pemula ia pantas merasakan hal itu. Sama seperti Putri dulu. Putri bahkan sempat koma berhari-hari akibat syok begitu tahu ia baru saja menikmati dua butir telur ceplok mata mantan kekasihnya.
Ah, En.
Kami bertiga tersenyum ketika melepas kepergiannya. Gadis manis yang aroma tubuhnya asli berbau lengkuas itu, membuat kami---khususnya aku, jatuh hati. Aku seperti melihat bayangan diriku di masa muda pada sosoknya. Ia pemberani, tegar dan sedikit lancang (baca:mau tahu).
"En gadis luar biasa. Aku tadi sempat memperhatikan. Bagaimana ia lahap menikmati rawon iga suami Nyonya," aku bicara kepada Nyonya yang asyik mengasah belati. Nyonya tertawa. Tawanya mengikik memecah kesunyian malam.
"Siapa lagi yang akan Nyonya bidik sekarang? Tuan sudah mati," aku mengernyit dahi. Lagi-lagi Nyonya tertawa.