Ia mengagumi hujan. Seperti mengagumi guratan lukisan maha dahsyat. Karya ajaib para malaikat.Â
Ia menghidu semerbak wangi bebauan tanah. Berulang-ulang. Tanpa jeda. Seperti mencium harum bayi merah yang baru terlahir ke dunia. Ia lupakan sejenak segala syak wasangka. Pikiran pandir. Setelah sekian lama berseteru dengan takdir yang tak jua kunjung berakhir.
Petrichor perlahan merasuk ke dalam sukma. Membasuh jiwa yang dipeluhi dan dipenuhi luka. Memar tanpa darah. Berusaha menyalakan kembali bara api dalam setiap lubang pori-pori. Yang nyaris padam tersebab terlalu lama tersimpan. Di dalam lemari besi berdinding beku dan kesunyian.
Perempuan itu menari-nari di tengah deru deras alunan rinai. Ia berdansa bersuka cita tiada henti. Melenggang riang ke sana ke mari membebaskan pasung hati. Menampak jelas pada binar mata dan wajah jelita berseri-seri.
Di atas tanah gering yang kini mulai membasah. Oleh tumpah ruah dan genangan hujan bercampur airmata. Perempuan dan petrichor berkelindan melahirkan legenda.Â
Bahwa suatu ketika, di sebuah negeri di ruang sempit bernama kepala. Rindu dan cinta ditakdirkan bersua. Dalam perhelatan pesta yang digelar di atas panggung musim yang divonis salah. Sebegitu sederhana. Sedemikian istimewa.
***
Malang, 21 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H