Win, pagi ini, kau bukalah jendela. Lalu lihatlah. Adakah langit berubah warna? Setelah sekian tahun kita dipisahkan oleh takdir yang tak sudi lagi berbaik hati kepada kita.
Win, usap bening airmatamu. Bukankah langit di Pecinan masih utuh? Kau belum tertimpanya, bukan? Meski pernah kau katakan,"Berpisah darimu, Oen. Aku bisa mati."
Memang telah kudengar berkali-kali. Kabar itu. Tentang bagaimana kau berusaha membunuh harimu. Dengan bermacam-macam upaya. Di antaranya, kau membiarkan hatimu dirajam beku. Dirukdapeksa sembilu. Meski banyak cahaya api. Berhamburan. Di sekelilingmu. Menawarkan kehangatan. Kau masih saja terpekur diam.
Win, aku senang sekaligus sedih. Mendengar kau masih bertahan sendiri. Hingga kini. Itu menunjukkan betapa setia hatimu. Sementara aku. Sejak berpisah darimu, tlah kuakrabi sunyi sedemikian rupa. Kugumuli sepi tiada berjeda.
Win! Jangan terisak begitu. Kau tahu aku tak lagi mampu menjangkaumu. Apalagi mesti memelukmu. Dunia kita kini semakin jauh.
Meski dari sini, dari tempat yang belum pernah kau singgahi. Aku bisa melihat. Langit Pecinan di atas kotamu, masih cerah dan tampak begitu hangat.
***
Malang, 19 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H