Bolehkah aku menegurmu? Kiranya engkau telah salah baca. Dalam buku setebal hitungan lima dasa warsa itu. Tak satu pun tertulis kisahku.
Aku merobeknya. Sebelum sempat tertorehkan oleh cairan tinta. Aku menguburnya dalam-dalam di puncak gunung paling curam. Menenggelamkannya ke dalam lautan lava yang dipanggang nyala api meruam. Agar tak seorang pun berani. Mengentasnya ke permukaan kembali.
Jika hari ini engkau mengaku. Telah berhasil mengkhatamkan berjilid-jilid kisahku. Kukatakan sekali lagi, engkau sungguh keliru. Benar-benar amat keliru. Kuberi tahu. Aku sudah sekian lama. Tidak memiliki seketip kisah.
Sebab sebenarnya aku ini bukan siapa-siapa. Tak ada kisah dalam hidupku yang pantas diukir. Bahkan oleh seujung pena yang dinyatakan terafkir.
Bolehkah aku mengingatkanmu? Tutup saja buku yang baru kaubuka. Usah lagi menerka-nerka, lakon apa selanjutnya. Termasuk drama yang sedang bermain di kepala.
Sebab aku tak ingin engkau tahu. Bahwa ruang di kepalaku sudah terlalu penuh. Dijejali oleh keraguan yang meriuh.
Bolehkah aku menasihatimu? Sebaiknya engkau batalkan saja. Upaya untuk menjelajahi setiap kisah. Dari satu halaman ke halaman berikutnya. Itu sungguh pekerjaan sia-sia. Tak akan engkau temui apa-apa. Setelahnya. Kecuali warna kusam abu-abu bersemu jingga. Â
Sebab aku ini sejatinya hanyalah mimpi. Yang melintas di belantara hati. Saat kau terlelap dalam buai kidung sepi.
***
Malang, 09 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra