Lagi, aku bersimpuh di kaki cemburu. Yang beberapa waktu lalu sempat melepas tali kekang. Menjanjikan kebebasan. Untukku. Namun pada kenyataannya. Kini ia kembali menangkup pinggang. Mengajakku berdansa hingga aku lelah dan jatuh terjengkang.
Lagi, aku tak kuasa menampik kehadiran cemburu. Meski pintu nalar tlah kupalang. Kupagar betis dengan jampi-jampi. Kusembur sawur dengan mantra-mantra. Dan kuretas deras dalam berbait doa-doa.
Cemburu masih saja hadir. Menyusup ke dalam pikir. Dengan cara yang amat mahir. Sekaligus pandir.
Sungguh, aku tak kuasa lagi. Melawan cemburu yang membabi buta. Menampakkan wajah beringasnya. Seperti harimau yang dicabut paksa kuku-kukunya. Oleh pawang pribadinya.
Jika cemburu itu menyakitkan, mengapa ia mesti diciptakan?
Dan jika cemburu adalah tanda bermukimnya cinta, mengapa ia begitu menyiksa?
Sekarang beri tahu aku. Bagaimana cara terbaik untuk membunuh cemburu. Haruskah ia kutikam dengan pedang, kurajam dengan kelewang. Atau kubiarkan tenggelam di lautan yang tak berbatas kedalaman?
Barangkali ada cara yang lebih rapi. Aku harus mati. Agar cemburu ini tak lagi mengikuti.
***
Malang, 03 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra