Petang ini kau baru saja melempar terompah. Yang sudah lama kehilangan pasangannya. Ke dalam selokan di depan rumah. Membiarkan terompah itu hanyut di atas genangan air berbau anyir.Â
Kau berlari-lari kecil mengejar terompah yang kintir. Sesekali kakimu terkilir. Itu mengingatkanmu pada masa kecil yang kau rindu. Kau seolah-olah mendengar suara Ibu. Yang lembut mengalun merdu. Memintamu untuk segera pulang. Gegas mandi, memakai sarung, peci dan celak. Pergi mengaji ke surau terdekat. Di mana sudah menunggu Pak Ustad dengan segala petuah dan nasihat.
Kau baru saja hendak mengait terompah yang tersendat di ujung selokan mampat. Dengan sepotong bambu yang ujungnya kau ikat. Kau mulai berjingkat. Itu membuatmu teringat. Pada masa kanak-kanak yang menyenangkan. Kau seakan-akan melihat ayahmu. Menggandeng erat jemari tanganmu. Dengan kail tersampir di pundak dan di punggung. Berdua menuju telaga bening di lereng gunung. Langkahmu riang bertebar senyum.
Kau nyaris bisa. Menaikkan terompah dari air yang tergenangi sampah. Tapi sejenak ingatanmu tergelincir oleh sekelebat kenangan yang hadir.
Pada Ayah Bunda yang kau tinggalkan di kampung. Pada tanah lahir yang terlupakan di ujung umur. Pada kekasih yang menunggumu dengan sabar. Kau hanya bisa berkirim kabar.Â
Di sini, di kota yang mirip belantara suku bar-bar. Aku sedang belajar bagaimana berpura-pura menjadi lelaki yang baik-baik saja.
Lalu perahu terompahmu miring, Â oleng ke samping. Jatuh terpelanting.
***
Malang, 20 September 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H