Aku baru saja hendak meminang mimpi ketika malam berkhianat ingkari janji. Ia menimang-nimang pendulum sunyi. Lalu meletakkannya di atas pusara waktu. Menggantikannya dengan derai riang tawamu.
Aku yang terbaring di tepi fajar menyaksikan malam semakin liar. Ia memelukmu, menangkup erat rusuk pinggangmu. Menyesapi segala keriuhan di rongga dadamu. Lalu menderasi mimpi yang baru saja bersiap menuju pelaminan dengan larik-larik puisi penuh pujian.
Kurasa malam diam-diam telah jatuh cinta padamu.
Tuanmu terlalu banyak drama di kepala. Ujarmu seraya tertawa. Menertawai aku dan sunyi--tentunya. Tepat pada dentang lonceng mercusuar ke sekian, kalian berdua---engkau dan malam, menari-nari merayakan kemenangan atas kekalahan berjejal-jejal kenangan.Â
Sementara aku dan pendulum sunyi tercekam hening yang tak lagi bening. Menjadi tertuduh atas malam yang kian meriuh. Menjadi saksi atas sepotong hati yang tercuri.
Kukira kau sudah tahu. Hanya sengaja berpura-pura tidak tahu. Bahwa sebenarnya bukan malam yang jatuh cinta padamu. Tapi aku.
***
Malang, Â 15 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H