Pagi yang gigil. Lelaki rimbawan mulai memandu kisah yang muskil. Sesekali ia menggoreskan tinta pada wajah langit muram yang dekil. Menggambarinya dengan siluet bunga sepatu. Bukan lukisan tentang sekuntum mawar merah jambu.
Pada sepenggal perjalanan lelaki itu menyumpahi diri sendiri. Merutuk kutuk habis-habisan. Bajingan benar aku ini! Jatuh cinta pada bunga sepatu yang tumbuh liar di taman pikiranku. Sedang di dalam jambangan mawar merahku menunggu, merindu selentik dua lentik sentuhanku.
Lalu lelaki rimbawan yang pada dadanya meletup-letup lava gunung berapi. Sejenak membolak-balikkan selasar hati. Bukankah Tuhan kerap menjungkirbalikkan kenyataan? Manusia boleh menghitung matematika secara logika. Satu tambah satu harus sama dengan dua. Tapi di tangan Tuhan angka itu sewaktu-waktu bisa saja berubah.
Lelaki itu kian memeluk gigil yang meruam. Masih, di langit yang suram siluet bunga sepatu belum terhapuskan. Pada detik kesekian ia mengangkat kedua tangan. Pada kemiringan sepersekian di setiap ujung jemarinya mendadak berlompatan. Kata-kata. Serupa rapal mantra atau bisa jadi doa-doa. Yang ditujukan entah untuk siapa.
***
Malang, 11 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H