Ini tentang anak-anak kenangan. Yang berlari lintang pukang di belakang induk semang. Belati tertancap suruk di bola mata. Duri melesak di ceruk rongga dada.
Apa salah dan dosa anak-anak kenangan? Mereka tak pernah meminta untuk dilahirkan. Apalagi diberi kebebasan memilih. Di rahim siapa raga harus menyulih. Atau--di jiwa mana ruh suci musti ditiupkan.
Ini kisah tentang anak-anak bertopeng kenangan. Yang dijadikan kambing hitam oleh perasaan. Tersebab cinta yang meluka, dendam yang bersekam dan hati yang terpancung gulita. Induk semang berlagak selayak tuhan. Berkuasa atas segala keinginan. Sementang-mentang berteriak lantang. Kau lukaku! Kau pecundang! Dan aku berhak atas segala perilaku yang kumau.
Anak-anak kenangan terus saja berlari. Di sepanjang pematang waktu mengikuti arah angin yang tak pasti. Belenggu kian memberat di leher dan di kaki. Airmata menderas merupa kucuran batu, menghujani kepala hingga ujung kuku.Â
Sampai kapan anak-anak kenangan akan bertahan? Membayang di mimpi hitam induk semang tak beradab. Mati sajalah kau, biadab! Atau untal saja anak-anak kenanganmu itu. Seperti kucing beranak yang menelan ari-arinya sendiri.
***
Malang, 10 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H