Dulu, dulu sekali, ketika matahari masih bersinar hangat. Teriknya belum seberapa menyengat. Diri merasa begitu hebat bisa tinggal di istana hatimu. Menempati ruang berdinding gading. Merebah di atas peraduan berkelambu sutra yang di atasnya bertabur wangi seribu bunga.
Tapi semua berubah. Sejak matahari berselingkuh dengan bulan. Tetiba udara segar terasa gerah. Istana gading mengungkung bagai penjara. Peraduan indah berserak butiran paku. Malam yang riang berubah gagu. Dan jiwa yang tenang mendadak beku.
Aku kehilangan mimpi. Nyaris semua mimpi-mimpiku tercuri. Oleh sekelompok bayangan yang mengaku utusan malam. Aku tak lagi menemukan bunga sepatu yang pernah kau tanam di sepanjang tidur lelapku. Aku tak lagi menyaksikan angsa-angsa bersayap emas berenang di atas kolam hasratku. Aku telah mati. Terbunuh penyamun malam yang merampas separuh hari. Â
Jika kini aku merupa batu karang. Kukira itu jauh lebih tenang ketimbang seonggok kayu arang. Bukankah batu karang mampu bertahan dari hantaman ombak yang datang berulang? Sedang kayu arang begitu rapuh. Mudah terbakar api dan gampang melebur menjadi abu.
Lalu datang senja memerah itu. Senja yang hangat, yang membawa serta rekah manis senyummu. Sungguh, tak bisa kuibaratkan. Hanya yang terjadi kemudian sangat menakjubkan. Karangku melunak. Membentuk kecomang laut yang jinak. Menghampirimu. Menyelusup di sela dadamu. Menguping nakal irama detak jantungmu.
Saat senja memutuskan menepi ke hilir. Mengganti tirainya yang jingga dengan langit biru safir. Aku ingin sejenak merebah. Menikmati mimpi yang baru saja kau cipta. Bukan sebagai karang atau kecomang. Tapi sebagai kekasih yang merindu pulang.
***
Malang, 07 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H