Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Mimpi yang Tercuri

7 September 2018   11:49 Diperbarui: 7 September 2018   21:35 1777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay)

Dulu, dulu sekali, ketika matahari masih bersinar hangat. Teriknya belum seberapa menyengat. Diri merasa begitu hebat bisa tinggal di istana hatimu. Menempati ruang berdinding gading. Merebah di atas peraduan berkelambu sutra yang di atasnya bertabur wangi seribu bunga.

Tapi semua berubah. Sejak matahari berselingkuh dengan bulan. Tetiba udara segar terasa gerah. Istana gading mengungkung bagai penjara. Peraduan indah berserak butiran paku. Malam yang riang berubah gagu. Dan jiwa yang tenang mendadak beku.

Aku kehilangan mimpi. Nyaris semua mimpi-mimpiku tercuri. Oleh sekelompok bayangan yang mengaku utusan malam. Aku tak lagi menemukan bunga sepatu yang pernah kau tanam di sepanjang tidur lelapku. Aku tak lagi menyaksikan angsa-angsa bersayap emas berenang di atas kolam hasratku. Aku telah mati. Terbunuh penyamun malam yang merampas separuh hari.  

Jika kini aku merupa batu karang. Kukira itu jauh lebih tenang ketimbang seonggok kayu arang. Bukankah batu karang mampu bertahan dari hantaman ombak yang datang berulang? Sedang kayu arang begitu rapuh. Mudah terbakar api dan gampang melebur menjadi abu.

Lalu datang senja memerah itu. Senja yang hangat, yang membawa serta rekah manis senyummu. Sungguh, tak bisa kuibaratkan. Hanya yang terjadi kemudian sangat menakjubkan. Karangku melunak. Membentuk kecomang laut yang jinak. Menghampirimu. Menyelusup di sela dadamu. Menguping nakal irama detak jantungmu.

Saat senja memutuskan menepi ke hilir. Mengganti tirainya yang jingga dengan langit biru safir. Aku ingin sejenak merebah. Menikmati mimpi yang baru saja kau cipta. Bukan sebagai karang atau kecomang. Tapi sebagai kekasih yang merindu pulang.

***

Malang, 07 September 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun