Pernah suatu kali, di senja yang tiba-tiba terasa begitu asing. Kita berdiri saling bersinggungan. Pada punggungmu terlukis bilur-bilur kekecewaan. Sedang pada punggungku tergambar memar ketidakpuasan.
Apa yang telah terjadi, duhai kekasihku? Mengapa kita tidak berhenti barang sejenak untuk mengurai kebuntuan. Atau berupaya menenangkan segala keriuhan. Yang berisik, yang tiada henti mengusik hati dan juga pikiran.
Barangkali ada baiknya kita membiarkan semasing hati bercerita. Tentang waktu yang sudah begitu lama terpenggal. Atau tentang langkah yang kian hari kian tersengal.
Sekarang bisakah kita berbalik badan? Saling berhadapan. Tak apa walau tanpa kata sambutan. Tak masalah meski tanpa sesungging senyuman.
Kekasihku, ini bulan kesekian sejak kita membiarkan jiwa raga terkungkung dalam diam yang beku. Barangkali sudah waktunya kita menghangatkannya dengan menyeduh kopi suam-suam kuku. Bukan apa-apa. Hanya sekadar memastikan. Jika memang getaran itu tak bisa lagi kita rasakan. Ada baiknya kita berlapang dada untuk saling melepaskan.
Sekarang, sebelum kau pergi ambil dulu cangkirmu. Aku akan mengambil pula gelasku. Sendok gula hanya satu. Mari sini kubantu mengaduk perlahan sedu(h) tanpa sedan racikan kopimu.Â
***
Malang, 05 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H