Sebelum lelaki genit itu datang, bulan hanyalah seorang emban. Yang mengabdi kepada matahari. Menyeduhkan secangkir kopi. Memandikan anak-anak embun. Menuntun desiran angin. Menjahit kain cahaya tuk kemudian menebarkannya ke seluruh alam maya pada.
Sebelum lelaki genit itu datang, bulan memang hanya seorang emban. Yang melayani sekutu malam. Menyalakan pediangan. Menghadirkan panggung megah bintang-bintang. Mengundang kunang-kunang berdansa. Melatih mimpi agar setia menemani jiwa raga yang terbaring lelah. Menenun angan di setiap kepala hingga pagi datang merekah.
Sebelum lelaki genit itu datang, bulan bukan siapa-siapa. Ia hanya perempuan gagu dan tuli. Yang tak sanggup membaca barang sebait puisi. Juga tak mampu mendengar petikan harpa yang dimainkan oleh para lelaki lelana.
Tapi sesudah lelaki genit itu datang, bulan berubah sedemikian rupa. Rajin bersolek di permukaan telaga. Bergaun biru bak Putri Salju. Bercunduk melati bagai Dewi Srikandi. Bersepatu kaca selayak Cinderella.
Ya, sesudah lelaki genit itu datang, bulan bukan lagi seorang emban. Ia tlah menjelma menjadi putri. Yang wira-wiri di langit malam. Melegenda di sepanjang zaman.
***
Malang, 05 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H