Entah sudah berapa kali senja mengaku cemburu. Pada langit yang tetiba saja pergi menjauh. Senja menumpahkan kemarahannya lewat bait-bait puisi bersyair dingin. Lalu bersekongkol dengan angin. Bersama-sama merangkai cerita tentang hati yang terbakar ingin.
Petang kembali bergulir. Mengganti peran siang secara bergilir. Senja duduk sendiri mengerucutkan bibir. Getir. Menatap langit yang tiada henti mengumbar mesra. Di depan mata langit semena-mena, memeluk bumi, menghujani dengan ciuman bertubi-tubi.
Senja semakin diamuk amarah. Ia melabur awan dengan rona merah semerah darah. Acak adul di sana-sini. Tiada beraturan. Mewakili perasaan yang tercabik oleh belati kecemburuan.
Di pelataran sunyi, rinai hujan masih riang menari. Sesekali rintiknya tersenyum geli. Menyaksikan asmaragama antara langit dan bumi. Sementara di tepi titian laut, senja bersungut memutuskan melarung segala kalut.
Petang kian tergelincir. Senja sejenak menekur pikir. Haruskah ia tenggelam dalam cemburu buta? Sedang langit sesungguhnya memang tiada menaruh cinta. Jikalau selama ini langit mengakrabinya. Itu tak lebih dari kewajiban cakrawala menghormati antar semesta.
Langit telah menghentikan pencariannya. Senja tak patut lagi mengumbar murka. Biar saja langit bahagia bersama kekasihnya. Sebab dalam lembar takdir yang tersimpan rapi di lemari Tuhan. Langit dan bumi sejak berabad lalu tlah dijodohkan.
***
Malag, 03 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H