Semalam bulan datang bertandang. Memainkan simphoni gubahan maestro paling jalang. Bulan bersolek sedemikian rupa. Hanya demi memberi penghiburan kepada hati yang mengaku luka.
Tapi seperti yang kau duga. Sejak kepergianmu aku mengakrabi lupa. Diri tak ingat lagi bagaimana sepatutnya mengukir tawa. Bahkan tuk sekadar mengulum senyum, bibir seolah tak lagi mahfum.
Kukira bulan salah alamat. Sebab pintu hatiku tlah terkunci rapat.
Namun bulan tak hendak menyerah. Disingkapnya gaun merah jambu yang dikenakannya.Â
Bulan telanjang! Sejenak hatiku bimbang. Di hadapan bulan bugil aku tak mampu lagi menyembunyikan cinta yang muskil.
Lalu pada bulan tanpa busana aku berkisah. Tentang airmata yang tak lagi bening. Tentang langit biru abu-abu bergradasi kuning. Tentang sunyi yang tak lagi hening. Juga tentang rindu yang kian menjauh.
"Itu indah!" bulan terperangah.
Sedetik kemudian aku teringat padamu. Cara bulan menakjubi ceritaku sama sepertimu. Kau tak pernah sekalipun mengudar sangkal. Apa pun yang kukatakan selalu kau rajut pintal. Bahkan ketika airmataku jatuh, kau memungutinya tanpa ragu. Menampungnya ke dalam cawan emas. Dan tak segan menyeruputnya hingga tandas.
Pada bulan telanjang kukatakan hatiku telah mati. Selayakmu ia gembira menanggapi. "Aku akan menghidupkan hatimu kembali. Kelak, jika waktu memutuskan berhenti berdetak."
Lalu pagi merenggut keperawanan malam. Mengusir bulan yang masih telanjang. Sama seperti bertahun silam. Kukenakan gaun bulan--seperti aku mengenakan jubah kenangan yang sengaja kau tinggalkan.
***