Mas Bagas melipat seragam kebanggaannya. Lalu disodorkan perlahan ke arahku.
"Simpan ini baik-baik, ya, Jeng," ujarnya dengan suara bergetar.
"Sudah kau pikirkan keputusanmu?" Aku menatapnya tak berkedip. Ia melempar pandang ke luar jendela.
"Bukankah sejak kecil cita-citamu ingin menjadi seorang tentara?" kuraih lengannya yang berotot. Aku bergelayut manja di sana.
"Aku berhutang budi pada kedua orang tuaku, Jeng," ujarnya setengah mendesah.
"Hutang budi apa?" aku berjinjit dan mendekatkan bibirku hingga menyentuh belakang cuping telinganya.
"Selama ini Ayah dan Ibu sudah berjuang mati-matian mengangkat derajadku. Memberiku yang terbaik, memanjakanku, dan mempermudah segala urusanku."
"Orang tua memberi yang terbaik bagi anak-anaknya memang sudah kewajiban, Mas. Bukan sebuah tindakan yang mesti berbalas budi," aku menyentuh pipinya yang tirus. Mas Bagas terdiam. Sebenarnya aku paham--sangat paham, bagaimana perasaannya saat ini. Ia sedang mengalami ewuh pakewuh. Dilema. Bingung mesti bagaimana menempatkan diri.
"Jika yang ditawarkan Ayah dan Ibu bertentangan dengan hati nuranimu, kau punya hak untuk menolak, Mas. Politik bukan duniamu. Kau terbiasa memegang senjata, bukan memegang mikrofon untuk berorasi."
"Sudahlah, Jeng. Aku tidak suka berdebat." Ia melingkarkan lengannya pada pundakku.
"Mulai sekarang Mas harus menyukainya! Mas bisa belajar berdebat denganku!" sindirku. Mas Bagas terdiam. Perlahan ia melepas rengkuhannya, merapikan ujung lengan kemejanya yang kusut. Lalu mengecup keningku dan berjalan melenggang menuju ruang tamu.