Lelaki itu menarik perlahan kerai jendela apartemen. Membiarkan matanya menerawang jauh. Menembus butiran salju yang meluruh.
"Aku kangen," bisiknya serupa gumaman. "Ya, aku kangen," ia mengulang kata-katanya seperti ia mengulang kecupan yang dulu pernah didaratkan pada pipi chubby berlesung.
Sudah lama ia merindukan suara merdu rintik hujan. Hujan yang benar-benar hujan. Hujan air yang mengucur deras berkilau bening. Bukan hujan salju yang beku dan mengkristal di negeri orang.Â
"Hujan di negeriku sangat indah, Ayumi," tangannya kembali bergerak. Menggoyang-goyangkan tali kerai yang mengendur.
"Ya, aku tahu. Aku mencoba membayangkannya dalam pikiranku. Kau sudah terlalu sering menceritakan padaku, Dion.Tentang hujanmu itu," Ayumi menyahut pelan. Tanpa tekanan. Membuat lelaki itu menoleh. Menyipitkan sebelah matanya dengan jenaka.
"Baiklah, Tuan. Jangan menatapku seperti itu. Aku tak malu berterus terang padamu. Aku memang cemburu pada hujan yang jatuh di negerimu itu," Ayumi mengangkat kedua bahunya.
Laki-laki itu tertawa. Ya, ia senang mendengar Ayumi menyatakan kecemburuannya. Ia sungguh merasa tersanjung. Sudah lama hatinya kerontang. Dicemburui baginya bagai mendapat guyuran hujan nan dingin menyejukkan.Â
"Hujan di negeriku sangat cantik, Ayumi. Ketika ia hadir aku selalu mengajaknya berdansa. Kadang kami bergumul di bawah talang rumah sambil berteriak histeris melampiaskan kepuasaan," ia makin menjadi-jadi memuji hujan.
"Apakah kalian--maksudku kau dan hujanmu itu juga bercinta?" Ayumi menyeringai. Â Lelaki itu mengangguk. Kedua bola matanya berbinar, memancarkan cahaya keemasan. Seperti pantulan bulan purnama di atas telaga.
"Kau sendirian mencumbui hujanmu itu, Dion?" Ayumi tersenyum ke arahnya.
"Tentu saja tidak!" matanya kian menyala. Sekelebat kenangan membawanya pergi ke masa lalu.