Masih terpatri dengan baik dalam benak saya, bagaimana tanggapan orang-orang sekeliling ketika mengetahui pilihan hidup saya yang dinilai cukup nekat yakni pisah dari suami dengan membawa serta anak-anak dalam asuhan saya.
Pro dan kontra terus bersliweran. Baik dari pihak keluarga maupun dari teman-teman terdekat. Ada yang mendukung. Tapi banyak pula yang meragukan. Keraguan yang menjurus pada perbedaan gender dan status. Mampukah saya menjalani hidup dengan 4 orang bocah yang masih kecil-kecil sementara saya hanya Ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki pekerjaan?
Ya, orang-orang meragukan itu. Bahkan ada yang bertaruh. Saya berpisah dari suami yang memiliki pekerjaan mapan, sama halnya saya menjatuhkan diri ke dalam jurang kesengsaraan.
Tapi saya bergeming. Saya terlalu percaya diri---mungkin. Tapi yang pasti saya meyakini satu hal bahwa Allah tidak akan membiarkan saya kelaparan atau menelantarkan hidup saya bersama anak-anak. Saya percaya bahwa Allah selalu dan akan selalu menjadi Khalik yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Juga Maha Kaya dari siapa pun.
Lalu mulailah saya menapaki jalan panjang bersama keempat buah hati saya. Meniti hidup dengan segala risikonya. Bermodal bismillah dan sedikit keterampilan yang saya miliki yang terus saya asah. Tanpa mengindahkan pandangan orang-orang yang meragukan saya.
Ada saat-saat saya berada di titik nol. Titik paling bawah. Tapi saya tetap berusaha bangkit dan bangkit lagi. Saya tidak boleh menyerah. Ada anak-anak yang harus saya dampingi dan saya perjuangkan.
Jangan ditanya seberapa banyak bentuk kepahitan yang sudah saya telan. Yang pada awal-awal sempat membuat saya nyaris menyerah. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, saya mulai kebal dan belajar mengambil hikmah dari semua kejadian. Saya teguk segala kepahitan selayak meneguk ramuan brotowali sebagai jamu. Saya semangati diri saya sendiri. Saya tanamkan dalam hati dan pikiran saya bahwa semua pasti bisa saya lalui dan akan berakhir dengan indah.
Anak-anak. Ah, ya, senyum dan tawa riang merekalah yang menjadikan saya tetap bersemangat dan kuat. Dari merekalah saya mendapatkan energi baik itu. Energi yang mendorong saya untuk tetap bertahan, berpikir sehat dan positif.
Saya nyaris menghabiskan hidup saya untuk anak-anak. Merawat, mengasuh serta menghantarkan mereka hingga meraih pendidikan terbaik. Dengan harapan agar mereka tidak mengalami kepahitan hidup seperti yang saya alami.
Alhamdulillah, Allah sungguh telah melancarkan rezeki saya dan anak-anak. Meski rezeki itu tidak melulu berupa materi.
Sebagai contoh, bungsu saya selalu terjaring di sekolah favorit. Sekolah nomor satu di Kota Malang. Sekolah mentereng khusus anak-anak orang kaya.