Tahun 1990
Mungkin karena kami sama-sama lelaki, jadi aku lebih dekat dengan Ayah ketimbang kepada Ibu. Kedekatan kami terjalin sejak usiaku masih Balita.
Masih bisa kuingat bagaimana Ayah dengan sabar dan telaten mengajariku cara pipis yang baik. Juga saat tiba masa aku harus dikhitan, Ayah paling setia menungguiku.
"Tidak sakit kok, Dam. Disunat itu rasanya seperti digigit semut," Ayah mengelus kepalaku sembari mengajakku bercanda, menceritakan hal-hal lucu agar aku terslimur dari rasa takut menghadapi prosesi eksekusi khitan.
"Untuk kenang-kenangan, Ayah akan mengambil gambarmu," Ayah tertawa seraya membidikkan kamera pocket-nya ke arah wajahku yang meringis menahan tangis. Lalu sorot kamera berpindah ke arah pinggang bawahku yang sudah tidak memakai penutup apa-apa.
Hingga bertahun kemudian Ayah masih menyimpan foto-foto hasil bidikannya itu. Dan kadang sesekali suka menunjukkannya kepadaku. Kalau sudah begitu kami akan tertawa bersama. Menertawakan foto lucu, seekor burung mungil yang diperban mirip mumi.
Kenangan bersama Ayah memang selalu terajut dengan manis. Apalagi Ayahku adalah seorang lelaki yang humoris. Baginya tak ada hari tanpa tertawa.Â
Aku masih belum lupa ketika pertama kali mengobrol tentang ketertarikanku kepada seorang gadis--teman satu kelas di bangku SMP.
"Dia cantik sekali, Ayah. Ada tahi lalat di bawah bibirnya," tuturku. Wajah Ayah yang kecoklatan tampak sumringah.
"Itu tandanya hormonmu mulai bekerja, Dam. Dan lain waktu kamu harus memperkenalkan gadis yang kamu taksir itu kepada Ayah. Ayah ingin melihat apakah seleramu sama seperti selera Ayah ketika seusia dirimu," sahut Ayah dengan suara sengaja dipelankan agar tidak terdengar oleh Ibu yang kebetulan berdiri tidak jauh dari kami.
Banyak momen-momen kecil yang kulalui bersama Ayah yang jika diingat terasa begitu indah.