Saya sempat ngobrol sedikit dengan ibu penjual gudeg yang sibuk melayani pembeli. Menurut ibu pemilik warung yang lebih suka dipanggil Bunda itu, ia mulai membuka warungnya sekitar pukul satu siang dan tutup jam delapan malam usai sholat tarawih. Alhamdulillah. Tidak ada razia di pasar dadakan. Semua berjalan tertib, lancar dan aman.Â
Saya juga sempat menyaksikan wajah-wajah sumringah para penjual lain di sana. Wajah-wajah yang tentu saja berharap mendapat rezeki yang halal dan penuh berkah di momen Ramadan yang datang hanya setahun sekali ini.
Secara tidak sengaja, sesungguhnya di dalam kegiatan pasar dadakan ini sikap toleransi masyarakat dengan sendirinya telah terbentuk. Contohnya, para penjual hanya melayani pesanan makanan untuk dibawa pulang sebelum jam berbuka tiba. Dan para pembeli pun paham akan hal itu, tidak terlihat satu orang pun yang memesan makanan untuk disantap di tempat meski disediakan tempat duduk dan meja berjejer rapi di sekitar area pasar.
Oh, ya, layaknya pasar-pasar dadakan lainnya, pasar yang muncul di sepanjang jalan Sulfat ini memajang dagangan yang masih didominasi oleh aneka jajanan, lauk pauk serta minuman segar.
"Kemana lagi kita, Ma?" ia bertanya sambil nyengir. Saya pun tahu diri. Itulah sebab saya lantas memilih mengajaknya pulang.Â
***
Malang, 27 Mei 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H