Tekatku sudah bulat. Aku ingin melupakan masa laluku dan ingin memulai semuanya dari awal.Â
Pertemuan tidak sengaja di rumah Wak Ujang sore itu ternyata membawa berkah. Aku bisa lebih jauh mengenal sosok Anisa, guru cantik berkaca mata minus itu.
Usai menunaikan sholat Magrib berjamaah, Wak Ujang--Ayahnya Anisa bercerita panjang lebar mengenai putri semata wayangnya yang lama tinggal terpisah darinya.
"Usianya baru tujuh tahun ketika terpaksa kutitipkan di rumah Neneknya. Semenjak Ibunya meninggal aku memang tidak bisa merawatnya. Pekerjaanku sebagai pedagang keliling membuatku harus sering meninggalkannya."
"Tentang bocah kecil usia dua tahun itu?" Emak mewakiliku bertanya. Jujur aku juga penasaran terhadap keberadaan bocah laki-laki yang memanggil 'Mama' kepada bu gurunya Aisyah itu.
"Biar Anisa sendiri yang menceritakan kisahnya," Wak Ujang tersenyum simpul. Mata tuanya melirik ke arah Anisa yang sibuk menyuapi bocah kecil di pangkuannya, yang sedari tadi bergerak tak mau diam.
"Raihan adalah anak sahabatku yang meninggal sesaat usai melahirkan," Annisa menatap lembut ke arah bocah yang dipanggil Raihan itu.
"Kenapa bukan Ayah atau keluarga Neneknya yang merawat dia?" tanpa sadar aku bertanya.Â
"Sahabatku itu korban cinta palsu. Ayah bocah ini meninggalkannya sejak ia masih berada di dalam kandungan. Sedang keluarga Neneknya dari awal sudah tidak menyetujui hubungan sahabatku itu dengan pacarnya," Anisa menjelaskan.
"Pacarnya? Jadi mereka belum menikah?" aku terperangah. Anisa mengangguk seraya mengumbar senyum. Senyum yang begitu tulus.Â
"Banyak orang berpikiran salah terhadap bocah yang lahir di luar pernikahan. Mereka menganggap bocah yang lahir tanpa Ayah itu adalah anak haram. Padahal semua bayi yang dilahirkan itu suci, tanpa dosa. Jika harus dipersalahkan, mestinya cukup kedua orangtuanya saja," Annisa menatapku serius, seolah ingin menegaskan apakah aku juga beranggapan sama dengan orang-orang yang diceritakannya itu.