Malam itu tidak seperti biasanya. Nyanyian gagak terdengar amat merdu. Tidak serak-serak basah.
Meski begitu aku tetap merinding. Menggigil ketakutan di balik selimut tebalku.
"Siapa lagi kali ini yang bakal mati?" aku bergumam seraya merapatkan badan ke arah tubuh Riswan, suamiku. Riswan yang tengah bersandar pada setumpukan bantal hanya menjawab ringan, "Tidak ada yang akan mati, Na. Gagak itu mungkin sedang memanggil pasangannya."
"Nyanyian gagak pertanda kabar buruk, Ris. Pembawa berita kematian," aku kian meringkukkan badan.
"Jangan terlalu mempercayai tahayul, Na. Hidupmu tidak akan tenang. Kau akan terus dihantui oleh pikiran-pikiran buruk setiap kali mendengar suara burung gagak," Riswan mengecup lembut keningku. "Sekarang tidurlah. Aku akan menjagamu."
Riswan membetulkan letak selimutku, lalu menyalakan lampu baca.
"Kau tidak keberatan aku melanjutkan membaca, kan, Na?" Riswan menyelonjorkan kakinya. Aku mengangguk.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu tengah malam. Tapi mataku masih terpicing. Â Sulit sekali terpejam. Penyebabnya---suara burung gagak sialan itu, yang tak juga kunjung berhenti.
Sungguh, suaranya sangat menggangguku, atau lebih tepatnya sangat menakutkanku.
Siapa lagi yang akan mati kali ini?
Pertanyaan itu kembali melintas di dalam pikiranku.Â