"Tapi aku ingin Ibu yang mendongeng untukku. Bukan ponsel itu."
Ibu tidak menyahut---lebih tepatnya tidak peduli. Ia segera mematikan lampu sebelum kemudian menutup pintu dan meninggalkan kamar tidurku.
Kau pasti tidak suka caraku memperlakukan Ibu. Hanya gara-gara Ibu tidak mau mendongeng lantas aku tega memotong-motong jari tangannya, memasukkannya ke dalam kantung plastik bekas pembungkus permen dan menyimpannya di bawah bantal.Â
Aku yakin kau pasti sudah membenciku. Sangat membenciku.
Pagi sudah merekah. Sudah saatnya aku membuka mata. Aku meraba bawah bantalku. Mencari-cari jemari Ibu.
"Masih belum beranjak, Kaesang?" kudengar suara Ibu. Mengagetkanku.
"Ibu belum mati?" aku mengucek kedua mataku.
"Tentu saja belum. Ibu tidak mau mati hanya gara-gara tidak mau mendongeng lagi untukmu," Ibu tertawa seraya membelai kepalaku dengan jari-jarinya yang masih utuh. Aku melirik ke arah jari-jari lentik itu. Sama sekali tidak terlihat bekas luka atau bercak darah di sana.
"Darimana Ibu tahu aku akan membunuh Ibu?" aku tersipu malu.
"Dari curhatan yang kau tulis di memo ponselmu. Semalam tanpa sengaja Ibu membacanya saat hendak mematikan ponselmu yang masih menyala," Ibu duduk di tepi ranjangku. "Maafkan Ibu Kaesang. Ibu memang sudah lama tidak mendongeng untukmu. Tapi Ibu janji, mulai malam nanti Ibu akan melakukannya lagi."
Kau pasti tidak percaya jika kukatakan ini padamu. Sampai detik ini Ibu masih setia mendongeng untukku. Ibu tidak pernah kehabisan kisah. Ibu mendongeng apa saja. Tidak sebatas dongeng Tiga Babi Kecil atau Kucing Bersepatu Laras.