Fragmen satuÂ
Kata Ibu, saya dulu punya Bapak. Bapak saya itu, masih kata Ibu, adalah laki-laki tulen.Â
"Apakah Bapak memiliki jakun seperti Lik Amir?" saya menatap wajah Ibu dengan pandang ingin tahu. Ibu pun mengangguk. "Ya, Bapakmu memiliki jakun. Tapi Bapakmu tidak pernah mencoba lipstik milik ibu seperti yang sering dilakukan oleh Lik Amir-mu itu."Â
Kata -kata Ibu membuat saya tertawa.
"Apakah Bapak bisa memanjat genteng selincah Telon?" saya bertanya lagi.Â
"Dia lebih tangkas dari Telon, kucing milik tetangga sebelah yang suka mencuri ikan asin jatahmu itu. Bapakmu bisa berjalan cepat di atas genteng---melompat kian kemari.  Apalagi di musim penghujan. Ia bisa berubah seperti  bajing."
Saya terbelalak takjub. Lalu saya membayangkan sosok Bapak berada di atas tingkap rumah, melompat kian kemari menambal genteng-genteng yang bocor dan pecah.
"Masih ada lagi yang ingin kamu tanyakan?" Ibu menatap kedalaman bola mata saya. Saya menggeleng. Pikiran saya masih sibuk tertuju pada Bapak, yang kata Ibu lincah seperti bajing.
Malam itu tidur saya pulas sekali. Saya merasa Bapak berada di samping saya, menemani saya, memeluk saya dengan lengan perkasanya hingga tangan lembut Ibu membangunkan saya.
***
Fragmen dua