"Bhu...bhu..." begitu bayi-bayi lucu itu berceloteh sembari memainkan ludah.
 "Apakah saat masih bayi aku juga seperti mereka, Bu?" tanyaku kepada Ibu ketika kami mengunjungi sebuah Panti Asuhan yang penghuninya kebanyakan anak-anak usia Balita.
"Hampir semua bayi seperti itu," sahut Ibu dengan mata berbinar.
"Ah, ingin rasanya aku segera menikah dan memiliki anak!" seruku bersungguh-sungguh. Mendengar kata-kataku, Ibu hanya tertawa. Dielusnya pundakku perlahan.
Begitulah Ibu. Ia selalu memperlakukanku dengan sabar. Ia tidak pernah memarahiku. Entahlah, mungkin karena aku ini anak tunggal sehingga membuat Ibu teramat memanjakanku.
Masih lekat dalam ingatan, saat usia kanak-kanak aku pernah menangis berjam-jam karena menginginkan gaun indah yang terpajang di sebuah etalase toko. Gaun pesta berpayet cantik dengan pinggang melebar semirip payung yang harganya sangat mahal. Tentu saja polahku ini membuat Ayah sangat marah. Bahkan nyaris memukulku.
Untunglah ada Ibu.Â
Dengan sabar dan penuh kasih Ibu membujukku. Juga berusaha meredakan amarah ayah.
Esoknya, saat aku bangun tidur, kulihat gaun impianku sudah tergeletak di samping tempat tidur. Ah, Ibu, rupanya  tanpa sepengetahuan Ayah, ia berusaha memenuhi keinginanku.
Begitulah aku. Hidupku dipenuhi oleh limpahan kasih sayang. Ibu terus menghujaniku dengan cintanya meski usiaku kian merambah.
Hingga suatu hari aku merasakan sesuatu yang aneh. Getaran yang indah merayapi hatiku.Â