-----
"Amar...kau sama sekali tidak menyentuh kopimu!" suara tegas itu mengagetkanku.Â
Irmina. Ia sudah berdiri di sampingku dengan tubuh hanya terlilit selembar handuk. Ia baru saja keluar dari kamar mandi.Â
Ingin sekali aku mengatakan padanya bahwa aku tidak minum kopi. Tapi tentu saja hal itu tidak kulakukan. Aku tidak ingin membuka topengku sendiri. Bukankah saat ini aku tengah menyamar menjadi Amar?
"Segera pakai bajumu, Ir. Nanti kamu masuk angin." Aku berdiri membelakanginya dan meraih cangkir kopi yang isinya sudah mendingin.
"Sejak kapan panggilan Na berubah menjadi Ir?" Irmina mengernyit alis. Sontak aku merasa gugup.Â
"Oh, itu... hanya untuk menyegarkan suasana," aku berkilah.Â
Kulihat dari pantulan cermin air muka Irmina berubah.
***
Ini hari pertama aku menyamar sebagai Amar, tinggal serumah dengan Irmina perempuan yang dinikahinya sekitar lima bulan itu. Dan aku sebisa mungkin menghindari berlama-lama bicara atau berkontak pandang dengannya. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin menjaga amanat Amar--bahwa ia hanya menitipkan istrinya. Bukan memberikannya.
Bersyukur Irmina  type  perempuan yang tidak agresif. Bahkan cenderung cuek. Jadi sementara waktu aku merasa aman melanjutkan penyamaranku.