Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ngidam

17 Januari 2018   14:59 Diperbarui: 17 Januari 2018   18:21 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber :www.hepatitisnewstoday.com

Aku meraba perutku yang membola. Ada gerakan halus, semirip telusur cacing, menggeliat-geliat geli.

Oh, syukurlah. Dia sehat.

Aku merabanya sekali lagi.

Aku bahagia. Aku hamil. Mengandung anak Rusli---laki-laki pilihan hatiku. 

Rusli seorang penulis lepas. Meski hidup kami jauh dari kata berkecukupan, aku tetap merasa bersyukur. Bagiku bisa hidup berdampingan dengan orang yang kucintai adalah karunia tak terperi.  

"Maafkan aku, Ir. Aku belum bisa membahagiakanmu," berulangkali Rusli mengatakan itu. Sampai bosan aku mendengarnya. 

Biasanya kalau sudah begitu, aku akan meninggalkannya sendiri di dalam kamar. Kubiarkan ia menghibur dirinya. Menggoreskan kalimat-kalimat sesuai dengan kehendaknya. Bukankah dengan menulis ia bisa menjadi siapa saja? Kalau mau, ia bisa menjadi Raja atau Kaisar yang paling kaya raya di dunia.

Seperti sore itu. Aku melihatnya asyik berkutat dengan naskah-naskahnya ditemani seiris singkong rebus dan secangkir kopi bening tanpa gula. Aku sama sekali tidak berani mengganggunya.

"Tanggungan menulis hari ini harus rampung. Ir. Supaya honornya cepat cair. Dan aku bisa membelikanmu sebuah daster. Kulihat kemejamu itu sudah tidak muat lagi."

Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Aku tahu, Rusli adalah  type  suami yang bertanggung jawab. Hanya saja nasib baik memang belum berpihak kepada kami.

"Kau lanjutkan saja menulismu. Aku harus mengantarkan cucian kering ini ke rumah Nyai Lurah. Oh, iya. Mungkin dari sana aku akan langsung mampir ke rumah kerabat di desa seberang," ujarku seraya menyentuh punggung tegap suamiku yang duduk membelakangiku.

***

Kediaman Nyai Lurah tidak terlalu jauh dari gubuk kecilku. Hanya berseling beberapa rumah. Nyai yang baik hati itu menaruh belas kasih dengan memberiku pekerjaan sebagai tukang cuci. Meski aku tahu, sebenarnya Nyai Lurah memiliki mesin cuci otomatis di dalam rumahnya yang serba mewah.

Nyai Lurah sendiri adalah perempuan jelita. Sangat pintar  berdandan. Bibirnya selalu merona oleh gincu warna merah marun. Gincu mahal yang tentu saja tidak mudah luntur. 

Usia Nyai Lurah beberapa tahun di atasku. Hanya saja karena kehidupannya serba berkecukupan, menjadikan wajahnya tampak awet muda dan berseri. 

Namun begitu kalau boleh jujur aku merasa lebih  bahagia dari perempuan yang dipersunting oleh pamong desa terhormat itu. Sebab acap kali Nyai Lurah yang jelita itu berkeluh kesah. Menyampaikan kegundahan hatinya yang tidak juga dikaruniai seorang anak sepanjang usia perkawinannya.

"Kau sangat beruntung, Ir. Lihatlah aku. Apa gunanya memiliki harta berlimpah tapi tidak memiliki keturunan?"

"Nyai bisa mengadopsi anak jika mau."

"Itu benar. Tapi memiliki anak dari rahim sendiri jauh lebih menyenangkan. Tapi sayang, Kyai Lurah bermasalah dengan organ...oh, maaf, Ir. Tidak seharusnya aku menyampaikan masalah pribadi ini."

"Tidak apa-apa Nyai," aku mengangguk hormat sebagai ungkapan bahwa aku ikut prihatin atas kondisi yang dialaminya.

Nyai Lurah menyodorkan beberapa lembar uang seraya melirik ke arah perutku yang membuncit.

"Sudah berapa bulan usia kandunganmu, Ir?" ia bertanya pelan.

"Lima bulan lebih, Nyai."

"Ngidam  apa kau selama mengandung?" ia bertanya lagi.

Aku menggeleng seraya tersenyum.

"Saya tidak  ngidam  apa-apa..."

"Ah, masa?" kali ini suara Nyai Lurah agak meninggi. Seolah tidak percaya dengan pengakuanku. "Di mana-mana, Ibu hamil pasti mengalami apa yang disebut ngidam, Ir," lanjut Nyai cantik itu seraya menepuk pundakku.

***

Seperti rencanaku semula, sepulang dari rumah Nyai Lurah aku menyempatkan diri mampir ke rumah kerabat yang tinggal di desa seberang. Aku pulang ketika hari sudah gelap. 

Di rumah kulihat Rusli masih juga belum beranjak dari kursinya, menyeleksi naskah-naskah yang hendak dikirim.

"Hari ini aku menerima upah cuci lumayan banyak, Rus. Bisa untuk membeli sebuah daster. Jadi tidak usah menunggu honor cerpenmu cair," ujarku hati-hati. Aku khawatir suamiku itu  tersinggung dengan ucapanku.

"Kau tabung saja uangmu, Ir. Aku juga baru saja menerima rezeki," Rusli berdiri. Menggamit pundakku dan mengelus lembut perutku yang bergerak-gerak. Tentu saja aku ikut gembira kalau benar Rusli telah mendapat rezeki. Aku tidak perlu bertanya macam-macam. Aku cukup berpikir, bisa jadi honor menulisnya sudah dikirim.

Dan malam itu juga, ia mengantarku ke pasar terdekat.

Sesuai janjinya, Rusli membelikanku sebuah daster. Ia juga memborong buah mangga nyaris sekeranjang penuh.

"Banyak sekali, Rus?" tanyaku heran.

"Maafkan aku, Ir. Aku baru tahu kalau Ibu hamil kadang suka  ngidam," Rusli menatapku dengan pandang mata bersalah.

"Siapa yang memberitahu tentang hal itu---maksudku tentang  ngidam  itu? Ibumu?" aku mengernyit alis. Rusli menggeleng.

"Jadi siapa?" tanyaku menegaskan.

"Nyai Lurah."

"Nyai Lurah? Kapan kalian bertemu?"

Rusli diam sesaat. Ia terlihat ragu mengatakannya.

Dan sepertinya aku tidak perlu bertanya lebih jauh lagi. Bekas lipstik merah marun yang tertinggal di kerah bagian depan kemejanya---sudah cukup menjelaskan semuanya.

***

Malang, 17 Januari 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun