"Tidak bisa, Andre. Ibu telah sampai pada keputusan final itu," Ibu membalas tatapanku.
Aku berdiri. Kali ini tidak saja menatap Ibu, tapi juga mengultimatumnya.
"Beri tahu alasan Ibu mengapa menggugat cerai Ayah. Jika alasan itu masuk akal, maka aku tidak segan mendukung Ibu. Tapi jika tidak---maka jangan salahkan jika aku lebih condong membela Ayah."
 ***
Hingga sidang perceraian itu diputuskan dan Ibu berhasil mengantongi akte cerai dari Pengadilan Agama setempat, aku tidak juga tahu dasar-dasar apa yang menjadikan Ibu menggugat cerai Ayah. Dan itu membuatku menjauh dari Ibu. Aku memilih kost di dekat sekolahku. Tidak tinggal lagi bersama Ibu. Hilang sudah rasa hormatku padanya. Sekalipun tidak terbukti Ibu berselingkuh---seperti dugaan Ryo, tapi diamnya Ibu membuatku berpikir bahwa bisa saja kemungkinan itu memang benar adanya.
Tinggal menunggu waktu. Bukankah waktu tidak pernah berdusta?
Dua bulan berikutnya, ketika aku pulang untuk mengambil berkas-berkas sekolahku yang masih tertinggal di rumah, ada hal yang membuatku sangat marah. Aku melihat Ibu tengah duduk bersantai di ruang tamu, bersanding dengan seorang laki-laki yang tidak kukenal. Mereka tidak menyadari kehadiranku. Mereka asik berbincang dan bersenda gurau. Terlihat sangat mesra. Ibu bahkan menyandarkan kepalanya di pundak lelaki yang, entah siapa dia.
Sungguh. Pemandangan itu membuat dadaku terasa sesak dan sakit.
Aku mulai tahu. Kiranya laki-laki itulah penyebab mengapa Ibu menggugat cerai Ayah.
Tiba-tiba saja aku gelap mata. Kupukul laki-laki asing itu dari belakang dengan tinjuku, bertubi-tubi. Laki-laki itu tak sempat membalas. Ia langsung jatuh tersungkur di lantai.
Kudengar Ibu menjerit-jerit memintaku agar menghentikan penyerangan yang membabi buta. Tapi aku sama sekali tidak megggubris suara Ibu.