Pras baru saja hendak membuka tudung saji ketika mendengar suara Monik melantunkan lagu itu lagi. Dari dalam kamar mandi.
Pernahkah kau bicara
Tapi tak didengar
Tak dianggap...sama sekali
Pernahkah kau tak salah
Tapi disalahkan
Tak diberi kesempatan...
Pras urung menggerakkan tangannya. Ia gegas meraih kunci motor dan berangkat kerja tanpa sarapan, juga tanpa pamit.
Selalu begitu. Selalu seperti itu.Â
Pras mendesah.Â
Monik selalu menyindirnya dengan lagu itu. Sampai ia hafal betul dan merasa bosan. Apalagi pada bait terakhir, Pras merasa sangat tertohok.
Kau tak butuh diriku
Aku patung bagimu
Cinta, bukan kebutuhanmu...
Huh, siapa bilang ia tak butuh Monik? Sangat. Kalau tidak butuh mana mungkin ia menjatuhkan hati padanya? Â
Lalu siapa bilang ia tak perlu cinta? Perlu. Tapi bukankah cinta tidak harus selalu ditunjukkan?
Dasar perempuan. Â Maunya menang sendiri.
Pras melepas kekesalan dengan menambah kecepatan motornya. Â Kendaraan roda dua itu meraung-raung memekakkan telinga. Ia ngebut dan nyaris menabrak seekor kucing yang tengah berlari menyeberang jalan.
"Kucing sialan! Lagu sialan!"
Pras mengerem mendadak motornya.Â
Dan ia jatuh terjungkal.
***
Monik mengibas-ngibaskan rambutnya yang masih basah. Matanya melirik ke arah meja makan. Masih rapi.Â
Ia tahu Pras pasti melakukannya lagi. Ngambek tidak mau sarapan. Monik mencibir. Huh. Dasar lelaki. Gengsinya teramat tinggi.
Monik duduk bertopang dagu. Menatap piring di hadapannya yang masih kosong. Kadang ia tidak mengerti mengapa dirinya sanggup bertahan memiliki suami seperti Pras. Pras orangnya pendiam. Keras hati. Rapi. Berbanding terbalik seratus delapan puluh derajad dengan dirinya. Ia ramai. Cerewet dan---pencemburu.
"Kita akan saling melengkapi, Mon. Seperti langit dan bumi..." begitu kata Pras di awal-awal mereka pacaran. Terdengar manis dan indah bukan?
Tapi pada kenyataannya, ketika mereka benar-benar menikah, Pras sepertinya sangat sulit memahami kekurangan Monik. Pras sering mendiamkan Monik apalagi kalau istrinya itu melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Salah satu contohnya--- ya, menyanyikan lagu yang menurut Pras cengeng itu.
"Itu lagu favoritku, Pras. Masa aku nggak boleh menyanyikannya? Kan aku juga nggak pernah melarang kamu bolak-balik nonton film lawas itu. Apa judulnya?"
"Cassablanca."
"Iyah, itu."
"Ini bukan soal boleh apa tidak Mon. Bukan soal salah atau benar. Dengarkan dulu...."
Dan Pras tahu, Monik tidak bakal mendengarkannya.Â
Istrinya itu tahu-tahu sudah menghilang menuju dapur.
***
Suara ribut-ribut di luar rumah membuat Monik bergegas  membuka pintu. Beberapa orang ramai-ramai menggotong tubuh Pras. Monik berlari menghambur.
"Terjatuh dari motor, Mbak. Diantar ke Rumah Sakit menolak. Jadi kami membawanya pulang," seorang pemuda yang ikut menggotong memberi penjelasan.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa," Pras memberi tanda ke arah Monik agar istrinya itu tenang.
"Baiklah, sodara-sodara, karena suami saya menyatakan ia baik-baik saja, maka saya ucapkan terima kasih atas pertolongannya. Sekarang kalian boleh meninggalkan dia," Monik menyalami satu persatu relawan yang telah mengantar Pras.Â
"Kau perlu bantuanku, Pras? Memapahmu masuk ke dalam rumah misalnya," Monik beralih menatap suaminya. Pras tidak menyahut. Hanya sorot matanya membalas tatapan Monik---sepenuh arti.
Dan Monik senang melihat Pras menatapnya seperti itu. Sudah lama ia ingin melihatnya--melihat sorot mata lembut itu bicara jujur.Â
Monik tersenyum.Â
Itulah Pras yang sesungguhnya. Pras yang pandai menyembunyikan perasaannya. Pras yang sebenarnya sangat mencintai dan membutuhkannya.
***
Malang, 27 Desember 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H