Harus menyalahkan siapa ketika mengetahui diri terjangkit penyakit menakutkan ini? Membenci Mama yang telah melahirkanku? Atau mengecam laki-laki pembawa virus yang kupanggil dengan sebutan Papa itu?
"Ini takdir." Begitu yang kudengar dari bibir suster Alia---suster yang merawatku ketika pertama kali mengetahui aku terdeteksi virus mematikan itu.
"Miranti...maafkan Mama sayang..." Mama mengulang-ulang kalimat itu di sela-sela tangisnya yang tak kunjung reda.
"Tidak perlu ada yang ditangisi dan dimaafkan, Ma," itu akhirnya yang kukatakan pada Mama. Sudah kuputuskan, aku harus bangkit. Ya, Miranti, gadis muda yang baru saja dinyatakan positif terinfeksi virus HIV ini harus tetap menjalani dan meneruskan hidup seperti sebelum-sebelumnya. Tidak boleh menyerah.
Tapi kenyataan tidak seperti yang kuharapkan. Saat berita penyakit yang kuderita ini menyebar, satu persatu orang-orang di sekitarku menjauh, termasuk teman-teman SMU-ku.
"Takut tertular," begitu alasan yang kerap kudengar baik secara bisik-bisik maupun terang-terangan. Sungguh, hal itu membuatku teramat sedih dan kecewa. Sedih karena aku terkucilkan dari hidupku. Kecewa karena merasa Tuhan sangat tidak adil padaku dengan memberikan penyakit seperti ini.
Kecuali Alan. Ya---hanya Alan-lah yang tidak berubah. Ia tetap bertahan menjadi teman terbaikku.
"Kau tidak takut, Alan?" suatu hari aku sengaja bertanya padanya.Â
"Takut apa, Miranti?" Alan menjawab pertanyaanku dengan ringan. Â
"Seperti mereka---takut tertular penyakitku," aku menandaskan. Alan mengangkat dagunya sedikit.
"Miranti, dengan cara apa aku akan tertular penyakitmu? Kalau hanya duduk berdampingan, berbicara, bersentuhan tangan atau nonton bareng bersamamu, kukira tidak ada yang perlu ditakutkan," Alan menatapku serius. Berusaha meyakinkanku.