Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cermin | "Single Mom" vs "Single Pap"

29 November 2017   08:25 Diperbarui: 29 November 2017   11:01 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Father Pushes His Two Daughter On A Tire Swing A Park/ www.shutterstock.com

Lebih sering kita mendengar dan membicarakan mengenai sosok Single Mom ketimbang Single Pap. Mengapa demikian? Sebab masyarakat kita masih memandang segala sesuatu dari perbedaan gender. Pada diri Mom sudah kadung melekat paradigma ---perempuan adalah sosok lemah yang patut dikasihani. Saat ia mampu melewati hidup sebagai orang tua tunggal dalam mendampingi putra-putrinya, apalagi jika perempuan tersebut mampu mengantar putra-putrinya sampai pada jenjang kesuksesan, wow, it's amazing!

Sedang ketika seorang pria memproklamirkan dirinya sebagai sosok Single Pap, rasa simpati tidak sebesar saat kita mendengar, "Saya single parent" dari bibir seorang perempuan. Bisa dimaklumi. Kembali lagi ke paradigma---pria adalah sosok perkasa. Adalah hal biasa sekiranya ia mampu menjalani hidup sebagai orang tua tunggal.

Menjadi Single Mom atau Single Pap, sama hebatnya
Ketika saya berbincang dengan seorang teman, Bapak-bapak yang bercerita bahwa ia sudah lama hidup sebagai orang tua tunggal bagi kedua putrinya, respons saya hanya tersenyum. Seperti orang kebanyakan, saya mikirnya begini, ah, Bapak-bapak kan sosok perkasa. Tidak ada masalah semisal ia menjadi single parent. Bukankah anak-anak akan lebih terjamin hidupnya jika mereka tinggal bersama Ayah mereka?

Itu pikiran saya sepintas. Saya belum berpikir ke hal-hal kecil, seperti betapa repotnya seorang Ayah yang tiba-tiba harus berperan ganda. 

Akan halnya Ibu tunggal, Ayah tunggal juga memiliki dua tanggung jawab---sebagai pencari nafkah sekaligus mengurusi rumah tangga. Kedudukan mereka, Single Mom dan Single Pap---hanya bertukar tempat.

Saya sempat tertegun ketika teman saya yang Single Pap itu menyampaikan kisah lucu dalam mengasuh dan merawat dua orang putrinya yang mulai menanjak remaja.

"Saya bingung ketika suatu hari anak gadis saya yang sulung menangis karena sakit perut. Saya buru-buru membawanya ke dokter. Eh, ternyata setelah diperiksa, dokter bilang, anak saya hanya mengalami dismenoria jelang haid." Teman saya itu tertawa terpingkal-pingkal. Saya pun ikut tertawa. Tapi bukan tertawa karena lucu, melainkan tertawa, aduh...apa ya namanya. Tertawa kecut---mungkin.

Usai mendengar kisah tersebut saya jadi berolah pikir. Bahwa sesungguhnya menjadi Single Mom atau Single Pap itu sama repotnya sekaligus sama hebatnya. Tidak ada perkecualian bagi keduanya.

Menjadi orang tua tunggal seperti saya, ups!---itu sebuah pilihan. Namun demikian tak ada salahnya kita tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-ana, agar mereka bangga dan tidak menyesali mengapa kita menjatuhkan pilihan yang---tidak semua orang berani mengambilnya.

***

Malang, 29 Nopember 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun