Tuan, aku tengadah, menatap hampa angkasa raya. Bulan masih terlihat jauh. Utuh. Mungkin ia sedang berada di langit kotamu. Semoga demikian. Sebab padanya ingin kutitipkan---keramba rindu yang tak pernah tersampaikan.
Tuan, aku bertopang rahang, menekuk siku pada bingkai kaca nan memburam. Bulan masih menggelayut---jauh, di awang-awang. Akankah ia bergeser perlahan? Kuharap demikian. Sebab aku ingin, ia segera sampaikan---keramba rinduku ini--padamu.
Tuan, aku masih tengadah---masih bertopang rahang, bertekuk siku pada bingkai jendela yang kacanya semakin memburam. Kucari bulan yang tiba-tiba menghilang. Kemanakah ia? Mungkinkah ia sedang dalam perjalanan? Jika demikian aku mesti gegas persiapkan. Secawan embun segigil halimun. Tuk sambut bulan---nanti, di meja  perjamuan.Â
Tuan, lihatlah, aku tak lagi tengadah. Tak pula bertopang rahang. Aku tlah berdiri di ujung pagi. Menunggu bulan yang sebentar lagi sampai---di kotaku---tuk kembalikan keramba rindu yang tak pernah sampai kepadamu.Â
***
Malang, 25 Nopember 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H