"Sudah kubilang, jika aku mau."
Meidina berdiri. Merapikan kemejanya sebentar lalu menatapku tak berkedip.
"Sayang sekali aku harus pergi, Hermes. Kuharap sepulang kantor nanti, kita bisa melanjutkan diskusi menarik yang tertunda ini."
 ***
Aku menyebutnya  hunter, sang pemburu. Ia memang benar-benar pemburu. Pemburu sejati. Tidak pernah berhenti sebelum mangsa yang diinginkannya tertangkap dan menggelepar bertekuk lutut di bawah kakinya.
Tak terkecuali diriku. Sepertinya ia sudah lama mengincarku. Berkali ia terpergok sedang membuntutiku. Bahkan di dalam kamar mandi pun, ia bisa tiba-tiba muncul. Untunglah bunyi gelegak perutku yang berisi angin busuk membuatnya muak. Ia menyingkir sesaat. Tapi kemudian balik lagi ketika melihatku duduk menyandar dengan santai di kursi makan seraya menyantap sandwich yang tersaji di atas meja. Ia menatapku nanar.
Hanya kehadiran Meidina yang bisa menyelamatkanku dari gangguan pemburu liar itu. Setiap kali istriku muncul, ia pasti menyingkir perlahan. Kadang aku berharap Meidina tetap di sampingku, menjagaku. Tidak harus pergi ke mana-mana. Tapi tentu saja hal itu tidak mungkin. Meidina seorang wanita karier. Ia bahagia memiliki banyak kesibukan di luar rumah.
Baru saja hendak menuju kamar, sebuah bentakan keras mengagetkanku.
"Kali ini kau tidak bisa menghindariku. Tidak ada seorang pun yang bisa menolongmu!"
Pemburu itu!
Ia sudah menodongkan moncong pistol di belakang kepalaku. Aku tak berkutik. Tak mampu sedikit pun melawannya. Aku pasrah. Menyerah di bawah keinginannya.