Tamparan keras mendarat di wajah Aisyah. Perempuan itu mundur beberapa langkah seraya mengelus pipinya yang memerah.
"Terima kasih untuk tamparanmu pagi ini. Sungguh, aku tidak menyesali keputusanku," Aisyah menatap Marwoto beberapa saat lamanya. Ia berusaha tidak menangis. Meski hatinya teramat sangat luka.Â
***
Haji Iskandar berdiri mengawasi Aisyah yang tengah sibuk memasukkan barang-barang ke dalam kopor.
"Pergi meninggalkan rumah untuk menghindari masalah? Apakah itu solusi terbaik? Masalah bukan untuk dihindari melainkan harus dihadapi," lelaki sepuh itu berkata sembari merapikan sorban yang tersampir di pundaknya.
Aisyah tidak menyahut.
"Kalau kau ingin pergi menenangkan diri, sebaiknya ke panti asuhan saja. Berbaur dengan anak-anak kurang beruntung barangkali bisa mengembalikan rasa syukur yang mulai mengikis."
Aisyah terisak. Tak cukup kata-kata baginya untuk menumpahkan segala perasaan, kecuali menangis.
"Ayo, Ais. Abah bisa mengantarmu ke sana. Bawa juga si kecil, ya. Anak-anak yang lain titipkan dulu di rumah Kakek dan Neneknya. Mereka sedang liburan sekolah, bukan?"
Dengan ujung hijab Aisyah menyeka airmatanya. Lalu memberanikan diri menatap Haji Iskandar.
"Abah, terima kasih."