Saya sedang menghitung mimpi mereka---orang-orang yang tengah tertidur di gerbong kereta paling belakang. Bisa jadi salah satu sedang memimpikan saya. Melihat saya tertawa, bahagia, tak lagi menangis berpeluk gerimis. Saya juga menerka-nerka mimpi seorang laki-laki perkasa berkepala botak--- yang menyandar lelap di bahu istrinya. Bisa jadi yang ada dalam mimpinya adalah perempuan lain, bukan perempuan yang sudah dinikahinya lebih dari sepuluh tahun. Saya yakin laki-laki itu hanya berani melakukannya. dalam mimpi. Sebab di dunia nyata ia terlanjur mengaku bahwa dirinya adalah type laki-laki paling setia.
Saya melihat begitu banyak mimpi bersliweran. Seperti laron-laron di musim penghujan. Saya pun sempat melihat seorang Kakek--- mata tetap terpejam meski petugas pemeriksa tiket penumpang KA membangunkannya. Saya maklum. Kakek itu pasti sedang menikmati mimpi indah bersama istrinya yang telah meninggal beberapa tahun silam.
Tapi jujur saya lebih tertarik pada mimpi seorang bocah--- laki-laki---usia tiga belas tahun yang tidur mendengkur tepat di hadapan saya. Mimpi bocah itu jelas tergambar dari raut wajahnya yang sebagian besar ditumbuhi jerawat, mimpi yang terus mengalir seperti slide film yang sengaja diputar agar saya bisa ikut menikmatinya.
Saya melihat bocah itu tertawa-tawa---dalam mimpi tentunya, tertawa hingga keluar airmatanya. Saya sampai bingung. Saya tidak bisa membedakan apakah ia tengah bersedih atau bahagia. Sebab bocah itu sungguh pintar mencampuraduk perasaannya. Ia tertawa melihat tubuhnya sendiri terpasung kesepian. Ia tertawa melihat butiran-butiran ekstasi tercecer di atas kasurnya.Â
"Mungkin sebaiknya aku mendaftar menjadi pasukan berani mati." Bocah itu bicara pada pil-pil yang dipungutinya dan siap ditelannya. Pil-pil itu bersorak sorai, melompat-lompat kegirangan. Mereka bersuka cita sekaligus bangga pada bocah usia tiga belas tahun itu. Se-belia itu sudah bertekad untuk mati. Tekad yang sungguh, tidak semua orang berani melakukannya.
Sudah dua belas butir pil masuk ke dalam perutnya. Bocah itu menunggu. Tapi ia baik-baik saja, tak juga kunjung mati.Â
Karena gagal menjadi pasukan berani mati muda, bocah itu menyusup naik kereta sebagai penumpang gelap. Ia memilih gerbong paling belakang, berjarak satu lekukan kaki dari tempat duduk saya. Ia meringkuk meneruskan tidurnya yang selama ini diakuinya ---tidak pernah lelap.
Kereta berhenti di sebuah setasiun kecil. Suara merdu pramugari mengusik mimpi-mimpi sebagian penumpang yang tertidur dalam posisi duduk. Termasuk mimpi bocah laki-laki itu, yang pada wajahnya dipenuhi banyak jerawat.
Waktu kian merambah. Bau harum pagi tercium bersama bening embun. Sekarang giliran saya menunggu mimpi datang bertamu di ruang bawah sadar saya. Tapi--- saya lupa. Sejak sore tadi saya sama sekali belum memejam mata. Saya terlalu sibuk mencatat mimpi orang-orang yang tertidur di gerbong kereta. Saya jadi kehilangan momen mimpi saya sendiri.
***
Malang, 22 Â Oktober 2017