Siang itu, Darsih kecil mengintip dari balik pintu. Seorang laki-laki mengenakan pakaian serba hitam, berikat kepala kain merah menyala datang berkunjung. Laki-laki itu bertubuh kurus, memakai kaca mata bening bundar, menjinjing kopor kecil---yang entah isinya apa.
Darsih kecil melihat Ibunya begitu bersemangat saat menyambut tamu yang baru datang itu. Usai mengajaknya berbincang sebentar, Darsih melihat Ibunya masuk ke dalam kamar diikuti oleh lelaki itu.
Dari balik pintu kamar yang dibiarkan terbuka, Darsih kecil menyaksikan Ibunya merebah dengan santai di atas tempat tidur.
Apakah Ibu sakit? Darsih bertanya dalam hati. Kenapa kalau sakit Ibu tidak pernah mengatakannya? Lalu siapakah laki-laki aneh itu? Apakah ia seorang tabib yang sengaja datang untuk mengobati Ibu? Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di dalam benaknya, membuatnya semakin penasaran.
"Di mana? Di sini?" Darsih mendengar Ibunya bercakap-cakap dengan laki-laki kurus itu.
"Agak naikkan sedikit jaritmu. Ya, sudah, cukup," laki-laki itu membuka kopor yang tergeletak di atas meja, mengambil sesuatu dari dalamnya dengan hati-hati.
Darsih kecil berjinjit. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh laki-laki aneh itu terhadap Ibunya.
"Aku memasukkan dua, tepat di bawah lututmu," laki-laki berikat kepala itu menekan betis Ibunya Darsih dengan ujung jari tangannya.
"Tambahkan satu lagi di sini," Ibunya Darsih memejam mata. Laki-laki itu berpindah posisi. Tangannya yang kurus terulur menyentuh tulang pipi perempuan cantik itu.
"Di sini?" laki-laki itu bertanya menegaskan.
Ibunya Darsih mengangguk.
***
Sepeninggal tamu laki-laki itu, Darsih melihat sikap Ibunya berubah. Seharian itu, Ibunya tidak melakukan kegiatan apa pun kecuali duduk berlama-lama memagut diri di depan cermin, tersenyum-senyum sendiri. Bahkan kadang terkikik kecil.
"Apakah Ibu baik-baik saja?" Darsih tidak bisa menahan lagi untuk tidak bertanya.
"Iya, Sih. Ibu baik-baik saja. Amat sangat baik," Ibunya menjawab dengan riang.
"Apa karena laki-laki kurus itu?" gadis kecil usia delapan tahun itu bertanya polos. Ibunya tertawa renyah. Ia ingin menjelaskan, tapi urung. Dipikirnya, Darsih masih terlalu kecil untuk bisa memahami hal-hal rumit yang ada di benak orang dewasa.
***
Sebulan kemudian, laki-laki kurus itu datang kembali. Darsih kecil melihatnya dan bergegas bersembunyi di balik pintu. Seperti sebelumnya, ia melihat Ibunya merebah di atas tempat tidur. Tapi kali ini dalam posisi yang berbeda. Tengkurap.
"Mau dimasukkan di mana?" laki-laki kurus itu memulai percakapan. Ibunya Darsih menyingkap jarit  dengan tangan kanannya hingga betisnya yang putih kelihatan.
"Di bawah paha sedikit."
Laki-laki itu segera mengeluarkan benda kecil, halus dan runcing yang sudah dipersiapkannya. Lalu memasukkan benda itu secara perlahan ke dalam kulit betis bagian belakang, sesuai dengan keinginan Ibunya Darsih.
"Sakit?" laki-laki itu bertanya.
Ibunya Darsih hanya bergumam.
***
Beberapa tahun kemudian.
Darsih tidak pernah lagi melihat laki-laki aneh itu datang berkunjung ke rumahnya. Ibunya juga, sepertinya sudah melupakan. Perempuan yang kini menginjak usia setengah abad itu sekalipun tidak membicarakan mengenai laki-laki berpakaian serba hitam---yang mengikat kepalanya dengan kain merah menyala itu.
Tapi suatu hari, Darsih yang sudah memasuki usia dewasa, melihat Ibunya mengeluh di depan cermin.
"Sepertinya Ibu harus melakukannya lagi, Sih."
"Melakukan apa?" Darsih mengernyitkan alis. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Ibunya.
"Susuk," Ibunya menjawab singkat.
"Susuk?" Darsih semakin tidak paham.
"Susuk itu semacam akupunktur. Menyisipkan paku emas ke dalam tubuh kita tepat pada titik-titik yang kita kehendaki."
Darsih tercengang. Ia mulai mengerti sekarang.
"Tapi mengapa Ibu harus melakukannya?" Darsih menatap Ibunya tak berkedip, meminta penjelasan.
"Supaya Ibu terlihat awet muda dan cantik."
Darsih terdiam.
***
Malam itu Darsih termenung di dalam kamar. Pertengkarannya dengan Ramdan membuatnya sangat sedih dan kecewa. Ramdan yang sudah dipacarinya lebih dari satu tahun itu, tiba-tiba saja memutuskan cinta secara sepihak.
Darsih berniat merebahkan diri ketika pintu kamar berderit. Ibunya masuk dan duduk di tepi ranjang, tepat di sebelahnya.
"Belum tidur, Sih?"
Darsih mengangguk.
"Ada yang ingin Ibu sampaikan."
"Ibu bilang saja."
"Ada yang melamar Ibu."
"Ramdan? Ia sudah mengatakannya padaku."
"Syukurlah kalau kau sudah tahu, Sih."
Sejenak keheningan menguasai. Ibu dan anak itu saling membisu.Â
Beberapa menit kemudian, Darsih turun dari tempat tidur. Ia teringat sejak pulang kerja belum mengisi perut.
"Ibu, mari kita makan malam bersama," Darsih mendahului Ibunya keluar kamar, berjalan melenggang menuju ruang makan.
***
Pagi-pagi sekali Darsih mendengar teriakan histeris Ibunya dari ruang tengah. Tergopoh ia beranjak bangun dan mendapatkan Ibunya tengah mengacak-acak rambut di depan cermin.
"Sih! Wajah Ibu mengeriput! Susuk yang terpasang satu persatu terlepas. Ibu jadi terlihat sangat tua, Sih! Tua dan buruk sekali!"
Menanggapi kepanikan Ibunya, Darsih tersenyum. Ya, ia tahu. Mengapa Ibunya sampai mengalami hal demikian.
"Jadi---daun kelor harus dihindari karena itu adalah pantangan bagi para pemakai susuk," terngiang kembali ucapan laki-laki tua berikat kepala merah menyala itu, beberapa tahun silam.
Dan Darsih, tadi malam baru saja menyuguhkan sayur daun kelor yang nikmat khusus dipersembahkan untuk Ibunya tercinta.
***
Malang, 16 Oktober 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H