Ibu tidak saja mengajariku menari, tapi juga mengajariku bagaimana cara memasang bindi yang benar di dahi. Dan Ibu pula yang membawaku ke istana untuk bertemu dengan Sultan.
"Ini Anarkali putri saya, Tuan. Ia yang akan menggantikan saya sebagai penari istana." Begitu Ibu memperkenalkan diriku. Sesaat Sultan memandangiku. Lalu menggerakkan telunjuk tangan kanannya memintaku untuk mendekat.
Sesuai dengan yang diajarkan Ibu, aku melangkah maju dengan kepala tertunduk dan pandang mata lurus ke bawah. Tak boleh sekalipun mataku bersirobok pandang dengan mata Sultan, apalagi sampai mengangkat kepala. Menurut Ibu jika dua hal itu kulakukan, itu berarti aku telah bertindak sangat tidak sopan dan memalukan.
Sepertinya Sultan terkesan dengan penampilanku. Sebab tak berapa lama kemudian ia berkata, "Baiklah Anarkali, besok kau bisa mulai bekerja di istana ini."
Sultan mengangkat telapak tangannya. Pertanda aku dan Ibu boleh pergi.
Masih dengan kepala tertunduk, aku berjalan mundur mendekati Ibu. Lalu kami beriringan meninggalkan istana.
Esoknya aku bangun pagi-pagi sekali. Berbekal nasehat banyak dari Ibu aku berangkat meninggalkan rumah menunaikan pekerjaan baruku sebagai penari penghibur di istana.
Seorang pengawal mencegat langkahku di pintu gerbang.
"Siapa?"
"Anarkali, penari baru yang menggantikan Mandeera," aku sengaja menyebut nama Ibuku. Pengawal itu segera tanggap. Gegas ia mengantarku menuju ruang pertemuan di mana Sultan dan para tamunya sudah duduk menunggu.
***