"Kau terlahir ontang-anting Pras, anak semata wayang. Jika tidak diruwat maka Batara Kala akan terus menguntitmu," Ibu berkata serius. Mendengar pernyataan Ibu aku tertawa. Sebagai generasi yang lahir di era modern, aku sama sekali tidak mempercayai hal-hal yang berbau mistis.
 "Kami tidak ingin kehilanganmu, Pras. Kau ingat, kedua anak kembar gentana-gentini Budhe Astuti, salah satu dari mereka mengalami musibah kecelakaan karena menolak diruwat," Ibu mengingatkanku dengan cerita yang sedikit dilebih-lebihkan.
"Kecelakaan itu terjadi karena adanya beberapa faktor, Bu. Kurang hati-hati misalnya, atau..." aku berupaya menyampaikan pendapatku. Â
"Atau...Dewa Batara Kala memang sedang benar-benar marah," Ayah menimpali.
"Batara Kala?" aku mengernyit alis.
"Huss, jangan keras-keras menyebutnya, pamali," Ibu melototkan mata ke arahku.
 "Kami sudah memilih hari baik untuk prosesi ruwatanmu, Pras. Malam 1 Suro. Pembimbing ritualnya adalah Ki Dalang Sapta Buwana sendiri," Ibu melanjutkan. Kukira tak ada kesempatan bagiku untuk menolak, sebab segala uba rampe, mulai dari terop, panggung dan gamelan pengiring wayang kulit terlihat sudah mulai didatangkan.
 Ya, malam 1 Suro tinggal sehari lagi.
***
Sesuai dengan perintah para sesepuh, aku duduk bersila di atas panggung tak jauh dari para nagaya diapit oleh Ayah dan Ibu. Dengan mengenakan busana adat Jawa lengkap, aku wajib mengikuti tuturan kisah yang sebentar lagi akan disampaikan oleh Ki Dalang Sapta Buwana.
Lelakon Murwakala selalu menjadi kisah pilihan para dalang setiap kali melakukan prosesi ruwatan. Kisah diawali dengan lantun tembang Asmaradhana, mewakili perasaan tresna Dewa Batara Guru terhadap istrinya, Dewi Uma. Keduanya digambarkan tengah berjalan-jalan melanglang buana di tengah hari. Â