Bag.3-Pulau HarapanÂ
Burung besi membawaku terbang dari Bandara International Schiphol menuju negeri nan jauh. Negeri tempat aku dilahirkan. Negeri di mana tinggal seorang perempuan yang pernah kupanggil dengan sebutan Ibu.
Mengenang wajah Ibu, lagi-lagi membuat dadaku sesak.Â
Ah, Ibu, bagaimana keadaanmu kini?
Kupejam mata, kubayangkan sosok perempuan jelita itu. Kupusatkan segala konsentrasiku agar aku bisa melihatnya. Ya, aku bisa melihatnya! Ia---Ibuku, Ni Kadek Restiana tengah menari Janger dengan gemulai di atas panggung.
Kukira aku tengah terjebak dalam kenangan masa kecil.
Ibuku, Ni Kadek Restiana, ia seorang penari yang piawai. Ia kerap membawaku, bocah kecil kesayangannya ketika mementaskan sebuah tarian. Ibu selalu mendudukkanku di deretan bangku paling depan agar aku bisa leluasa melihat penampilanya.
Sungguh, mata biruku berbinar saat menyaksikan Ibu menari di atas panggung. Ibu terlihat begitu cantik dan menawan. Balutan kostum berwarna warni membuat wajahnya yang ayu semakin jelita. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Hiasan bunga kamboja tak pernah lupa diselipkan di atas kedua cuping telinganya.
Bagi Ibu, menari adalah hidupnya. Ibu terlihat begitu menyatu dengan tarian yang dibawakannya, meski tari Bali itu tergolong unik. Sekali waktu gerakan tari lemah gemulai, memukau. Lalu tanpa disangka, secara tiba-tiba gerakan itu berubah menjadi menghentak, ekpresif dan dinamis.
Tapi Ibu selalu mampu membawakan semua tarian dengan baik. Matanya yang indah terlihat begitu menghipnotis, selaras dengan alun gamelan yang rampak mengiringi.
Ibu...aku bangga padamu. Aku memujamu.