Laila terlihat masih pulas. Gaun warna jingga yang melilit tubuhnya sedikit tersingkap. Wajahnya yang binar tampak begitu tenang. Dengkur halus berirama naik turun keluar dari bibirnya yang mungil, menandakan---ia benar-benar tengah menikmati tidurnya.
Sementara ke-999 sahabatnya sudah berkumpul di hamparan langit. Hening mulai menyergap, menangkup erat pinggang senyap dan kesunyian malam.
Sebagian penduduk bumi telah merebah menanggalkan lelah. Sebagian yang lain masih bertahan melawan kantuk, tunduk terpekur di atas sajadah-sajadah.
Lailatul Qadar. Malam seribu bulan. Lantunan zikir menguar menuju langit ketujuh. Ke-999 bulan berebut menyambut puja-puji itu, lalu mereka meluruh berubah menjadi serpihan rahmat yang siap turun ke bumi.
Serpihan bulan pertama jatuh di sebuah surau berdinding bambu. Seorang laki-laki tua tengah duduk bersila seraya menggerakkan jemari keriputnya. Bibirnya yang kering khusuk merapal doa-doa.
"Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan menyukai orang-orang yang memohon ampunan. Maka ampunilah aku..."
"Allah berkenan mendengar doamu..." bisik serpih bulan kesatu penuh senyum.
Bulan kedua, meluncur suka cita menuju rumah sederhana, yang di dalamnya tampak sepasang suami istri tengah duduk beriringan memanjat doa istigfar.
"Astagfirullah hal adzim...ampunilah dosa-dosa kami, ya Rabb..."
"Allah sungguh Maha Pemurah...Insya Allah terijabahi istigfar kalian," bulan kedua mengangguk takzim.
Bulan ketiga melayang ringan menghampiri sosok perempuan bermata sembab. Perempuan itu tengah memilin tasbih di tangannya. Tasbih itu berputar berpuluh kali. Pada sajadahnya yang lusuh tampak bekas titik air mata. Ya, ia baru saja menangis seraya melantunkan doa keselamatan bagi dirinya dan juga anak-anaknya yang jauh merantau di negeri seberang.