Ayah selalu menarik tanganku setiap kali aku berdiri berlama-lama menatap deretan rumah yang berjejer rapi itu. Deretan rumah yang letaknya agak tersembunyi tak jauh dari kampung tempat tinggal kami. Rumah-rumah yang modelnya sama dan bercat seragam.
“Kris! Ayo pulang!” Ayah menghentak lenganku, membuatku mengikutinya dengan langkah tersuruk.
“Sebenarnya itu tempat apa, Ayah?” aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Itu rumah para bidadari, Kris.” Ayah menyahut setengah hati.
“Maksud Ayah penghuninya para bidadari?”
Ayah mengangguk.
“Aku ingin melihatnya, Ayah. Sekarang!”
“Tidak boleh Kris! Penglihatanmu bisa buta jika kau memaksa masuk ke sana,” suara Ayah meninggi. Aku mengernyitkan dahi. Bermacam pertanyaan timbul tenggelam dalam benakku. Aku nyaris membuka mulut ingin bertanya lagi ketika sekelebat kulihat wajah Ayah mengeras. Membuat bibirku mendadak---bungkam.
***
Rumah bidadari. Istilah itu melekat erat dalam pikiranku, sekaligus menyisakan tanda tanya cukup besar. Benarkah ada bidadari yang tinggal di bumi ini? Bukankah di dalam buku dongeng yang kerap kubaca, para bidadari itu lebih suka tinggal di kahyangan?
Penglihatanmu bisa buta jika kau memaksa masuk ke sana. Oh, mengapa Ayah berkata demikian? Bukankah para bidadari itu cantik jelita? Bagaimana mungkin kecantikan membutatakan mata? Kukira menyegarkan mata itu jauh lebih masuk akal.
“Kris! Cepat selesaikan pekerjaanmu!” seruan Bibi Dora membuatku terkejut. Buru-buru kurapikan kardus-kardus dan botol-botol bekas yang berserak di lantai.
“Belakangan ini kerjamu lambat sekali, Kris. Kenapa? Apa yang sedang kau pikirkan?” Bibi Dora menepuk pundakku.
“Rumah bidadari...” sahutku tanpa sadar. Bibi Dora memicingkan mata. Bibirnya mengerucut maju beberapa senti.
“Jadi kau sudah pernah melihatnya?” perempuan bertubuh tambun itu menelengkan kepalanya sedikit.
“Melihat apa, Bi?” aku menegaskan.
“Rumah para bidadari itu!”
“Rumahnya sudah. Tapi penghuninya belum.”
“Kris! Jangan coba-coba nekad melihat penghuninya. Bisa lumpuh nanti pikiranmu!”
Aku terhenyak. Kemarin Ayah bilang mataku bisa buta, sekarang Bibi Dora mengatakan pikiranku bisa lumpuh. Duh, mahluk apa sebenarnya mereka--- yang tinggal di rumah itu? Mengapa terkesan begitu menyeramkan?
Mendapat peringatan keras seperti itu bukannya takut, tapi malah membuatku semakin penasaran.
Diam-diam aku menyelinap ke sana, suatu siang, sepulang dari sekolah.
Kaki kurusku menapaki jalanan berbatu yang lengang. Sungguh aneh, sekeliling rumah bidadari tampak sepi. Apakah mereka sedang berendam, mandi di telaga bening pada siang sepanas ini selayak kisah dalam buku dongeng?
“Hai, Nak! Apa yang kau lakukan di sini?” seorang lelaki paruh baya menepuk pundakku, keras. “Anak-anak usia sekolah dilarang berkeliaran di tempat ini!”
“Saya hanya ingin melihat mereka, Pak. Para bi-da-da-ri yang menghuni rumah-rumah bagus itu,” aku menyahut tergagap. Lelaki itu tergelak.
“Siapa yang mengatakan itu padamu? Di sana tidak ada bidadari, Nak.”
Lalu lelaki tua itu menggamit lenganku. Mengajakku duduk di atas bangku yang terletak di bawah pohon rindang di tepi jalan.
“Kita ngobrol di sini. Akan kujelaskan padamu hal-hal yang tidak kau mengerti.”
Aku menurut. Mengambil tempat duduk di samping lelaki tua itu.
“Mereka bukan bidadari. Melainkan---perempuan-perempuan kesepian yang putus asa. Mereka terpaksa bekerja di sana demi melanjutkan hidup.”
“Apa yang mereka lakukan?”
“Mereka melayani tamu, menjual cinta pada para lelaki hidung belang.”
Aku mengangkat alis. Tidak paham apa yang dikatakan oleh lelaki yang baru kukenal itu.
“Mereka yang terlanjur datang ke sini, para lelaki, telah menjadi buta dan pikiran mereka lumpuh, tak ingat jalan pulang.”
“Oh, itu seperti yang dikatakan oleh Ayah dan Bibi Dora kepadaku.”
“Mereka berkata begitu?”
Aku mengangguk.
“Sekarang pulanglah, Nak. Ayah dan Bibimu akan marah jika tahu kau berada di sekitar wilayah...tidak bagus ini.”
Aku berdiri. Menatap lelaki paruh baya di sampingku itu sejenak. Lalu dengan sebuah anggukan kecil aku pamit, menyusuri kembali jalan menuju pulang.
***
Pagi baru saja merekah ketika suara Bibi Dora melengking membangunkan tidurku.
“Kris! Bergegaslah. Mumpung hari Minggu. Antarkan kardus-kardus dan botol bekas ini ke tukang loak. Timbangkan di sana. Mudah-mudahan pagi ini kau bisa membawa pulang uang yang cukup untuk membeli beras.”
Agak malas aku membuka mata.
“Kok sepi, Ayah ke mana, Bi?” tanyaku sembari menguap. Pandanganku menyapu sekeliling .
“Ayahmu pergi sejak subuh, Kris. Pamit ke...rumah bidadari.”
Mendengar itu kusingkap selimutku, turun dari ranjang dengan tergesa dan meraih sandal jepit yang berserak di kolong meja.Tanpa memedulikan teriakan Bibi Dora aku berlari keluar rumah.
Kudapati Ayah tengah berdiri termangu menatap buldoser-buldoser yang menggeram.
“Apa yang telah terjadi Ayah?”
“Penggusuran Kris,” Ayah berkata pelan. Aku berdiri di sampingnya.
“Oh, lalu dikemanakan mereka, para bidadari itu?”
“Mungkin dikembalikan ke kahyangan.”
Aku mengangguk. Ayah meraih kepalaku dan membenamkannya ke dalam pelukan.
“Semoga mereka betah dan baik-baik saja di tempat yang baru, ya, Kris. Termasuk Ibumu---salah satu penghuni rumah bidadari itu.”
***
Malang, 18 Mei 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H