Kaki kurusku menapaki jalanan berbatu yang lengang. Sungguh aneh, sekeliling rumah bidadari tampak sepi. Apakah mereka sedang berendam, mandi di telaga bening pada siang sepanas ini selayak kisah dalam buku dongeng?
“Hai, Nak! Apa yang kau lakukan di sini?” seorang lelaki paruh baya menepuk pundakku, keras. “Anak-anak usia sekolah dilarang berkeliaran di tempat ini!”
“Saya hanya ingin melihat mereka, Pak. Para bi-da-da-ri yang menghuni rumah-rumah bagus itu,” aku menyahut tergagap. Lelaki itu tergelak.
“Siapa yang mengatakan itu padamu? Di sana tidak ada bidadari, Nak.”
Lalu lelaki tua itu menggamit lenganku. Mengajakku duduk di atas bangku yang terletak di bawah pohon rindang di tepi jalan.
“Kita ngobrol di sini. Akan kujelaskan padamu hal-hal yang tidak kau mengerti.”
Aku menurut. Mengambil tempat duduk di samping lelaki tua itu.
“Mereka bukan bidadari. Melainkan---perempuan-perempuan kesepian yang putus asa. Mereka terpaksa bekerja di sana demi melanjutkan hidup.”
“Apa yang mereka lakukan?”
“Mereka melayani tamu, menjual cinta pada para lelaki hidung belang.”
Aku mengangkat alis. Tidak paham apa yang dikatakan oleh lelaki yang baru kukenal itu.