“Kris! Cepat selesaikan pekerjaanmu!” seruan Bibi Dora membuatku terkejut. Buru-buru kurapikan kardus-kardus dan botol-botol bekas yang berserak di lantai.
“Belakangan ini kerjamu lambat sekali, Kris. Kenapa? Apa yang sedang kau pikirkan?” Bibi Dora menepuk pundakku.
“Rumah bidadari...” sahutku tanpa sadar. Bibi Dora memicingkan mata. Bibirnya mengerucut maju beberapa senti.
“Jadi kau sudah pernah melihatnya?” perempuan bertubuh tambun itu menelengkan kepalanya sedikit.
“Melihat apa, Bi?” aku menegaskan.
“Rumah para bidadari itu!”
“Rumahnya sudah. Tapi penghuninya belum.”
“Kris! Jangan coba-coba nekad melihat penghuninya. Bisa lumpuh nanti pikiranmu!”
Aku terhenyak. Kemarin Ayah bilang mataku bisa buta, sekarang Bibi Dora mengatakan pikiranku bisa lumpuh. Duh, mahluk apa sebenarnya mereka--- yang tinggal di rumah itu? Mengapa terkesan begitu menyeramkan?
Mendapat peringatan keras seperti itu bukannya takut, tapi malah membuatku semakin penasaran.
Diam-diam aku menyelinap ke sana, suatu siang, sepulang dari sekolah.