Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Topeng yang Terluka

24 April 2017   19:07 Diperbarui: 25 April 2017   07:00 2219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tergeletak di sudut gudang dengan wajah berdebu dan dipenuhi goresan, juga cat yang mulai terkelupas, membuat senyum yang dulu menawan menjadi agak menakutkan. Tak ada lagi yang peduli padanya. Ia merasa begitu tersisih, topeng itu, ia merasa sangat tidak berguna. Dalam kesendirian angannya terbang ke masa lalu, ke masa jaya yang pernah dialaminya. Terbayang sosok Diman, lelaki yang menjadi tuhannya, yang telah menciptakannya dengan penuh suka cita. Juga Surti, gadis centil lincah yang senantiasa bersamanya saat menari di atas panggung.

“Topeng yang cantik, Ayah!” suatu siang, sepulang sekolah Surti kecil pernah berseru, takjub, menyaksikan ayahnya yang tengah asyik menggosok permukaan wajahnya di teras depan rumah. Diman yang penyabar mengulum senyum. Membiarkan putrinya yang berusia tujuh tahun itu mencium pipinya berulang-ulang.

“Kapan Surti boleh mencoba topeng cantik ini, Ayah?” tangan mungil Surti menyentuh wajahnya yang setengah jadi.

“Kamu sudah bisa memakai genduk ini pada pagelaran seni di sekolahmu, bulan depan.” Diman menyentuhkan topeng ke arah pipi Surti yang bulat. Mata Surti berbinar. Kemudian dengan kemayu bocah centil itu berlari menghilang, masuk ke dalam rumah.

Diman memandangi punggung putrinya dengan senyum masih mengembang. Dada lelaki itu membuncah menahan perasaannya, antara bangga dan haru. Anak semata wayangnya itu, begitu lincah dan menggemaskan. Mengingatkannya pada mendiang istrinya, Marni, yang telah mendahuluinya berpulang beberapa tahun silam. Andai Marni masih hidup, ia tentu ikut senang melihat perkembangan Surti. Gadis kecilnya itu telah mewarisi bakat menari darinya. Ia, sebagai ayah sekaligus pelatih, tidak setengah-setengah membimbing Surti. Diajarinya Surti tehnik-tehnik menari yang baik. Cara berdiri yang sigeg, nyeblak sampur dengan manis, juga bagaimana menjaga kelenturan tubuh agar terlihat gemulai saat berada di atas panggung.

Diman boleh berbangga hati. Usahanya membuahkan hasil. Kian hari Surti kian piawai membawakan tarian yang diajarkannya. Diman menaruh harapan besar pada bocah kecil kesayangannya itu. Ia mengggadang-gadang, kelak Surtilah yang bakal meneruskan impiannya, melestarikan dan mengangkat seni tari Topeng Malangan yang belakangan ini semakin tersisih.

Waktu terus beranjak. Surti tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan menawan. Ia semakin eksis di dunia yang membesarkannya. Bersama topeng kesayangan buah karya ayahnya sendiri, Surti telah menghabiskan sebagian waktunya di atas panggung.

Sampai suatu waktu Surti bertemu dengan Pramono, pria berumur yang mengaku sebagai pengusaha di bidang properti asal Jakarta. Dan pria itu berhasil mencuri hati Surti yang lugu.

Surti tidak menolak ketika Pramono memintanya untuk menemani berkeliling dari satu kota ke kota lainnya. Bahkan ketika Pramono memintanya untuk berhenti menjadi penari panggung pun, Surti dengan senang hati melakukannya.

Cinta memang selalu begitu. Selalu seperti itu. Mampu memperbudak perasaan tuannya.

“Jangan grusa-grusu meninggalkan dunia tari yang sudah kamu rintis dengan susah payah, Nduk.” Diman mencoba mengingatkan. Tapi Surti tidak menggubris ucapan ayahnya. Ia seolah telah kehilangan telinga.

Tentu saja Diman merasa sedih. Sama sedihnya dengan Topeng Malangan yang meringkuk sendirian di pojok gudang.

Pintu berderit. Seseorang menguak pintu gudang. Topeng Malangan yang tengah melamun nyaris menjerit karena girang. Diman!

“Kukira aku akan kehilangan dirimu,” tangan kurus Diman terulur. Menyentuh wajah topeng yang tak terurus itu. “Oh, hidungmu terluka, aku harus menambalmu, huft...” ditiupnya debu yang melekat. Lalu dibawanya topeng itu keluar gudang menuju ruang tamu.

Sementara di luar gerimis semakin rapat, menari-nari dan menghentak-hentak. Diman duduk bersila di atas bangku panjang. Tangannya sibuk mengusap wajah topeng yang kusam. Sesekali lelaki itu menaikkan cuping hidungnya, lalu bersin-bersin.

Sejenak ia dikagetkan oleh kedatangan Surti. Gadisnya itu berlari-lari kecil menghampirinya.

“Ayah, Mas Pramono baru saja meminangku. Kami akan segera menikah!” Surti berseru dengan wajah penuh binar. Diciumnya pipi lelaki tua itu sembari menunjukkan cincin yang tersemat di jari manisnya.

“Apakah sudah kamu pikirkan baik-baik keputusanmu itu, Nduk?” Diman bertanya tanpa mengalihkan pandang dari Topeng Malangan di tangannya.

“Mengapa Ayah bertanya begitu?” Surti menatap Ayahnya kecewa.

“Karena Ayah menyayangimu. Pramono itu tidak seperti yang kau kira. Ia bukan pria bujangan. Apakah kamu siap menanggung resikonya?” Diman berdiri. Meletakkan topeng di atas meja. Lalu berjalan mendekati jendela yang berderak-derak tertiup angin.

“Mas Pramono masih bujangan, Ayah!” Surti memberengut. Bibirnya yang mungil mengerucut. Diman tertawa. Ia menghampiri putrinya dan mengelus perlahan pundak gadisnya itu.

“Ayah tidak berkata bohong, Nduk. Banyak informasi miring masuk ke telinga ayah mengenai siapa sebenarnya Pramono.”

“Kenapa Ayah lebih mempercayai omongan orang?” Surti terlihat marah. Ia tidak terima ada orang yang menjelek-jelekkan pria pujaannya. Hatinya tersulut. Dan tangannya tanpa sadar meraih topeng yang tergeletak di atas meja. Lalu sekuat tenaga ia melempar topeng itu ke luar jendela.

“Astaga, Surti! Apa yang telah kamu lakukan?” Diman spontan berlari ke luar rumah. Didapatinya topeng yang jatuh tergeletak di atas rerumputan. Direngkuhnya benda yang terbuat dari kayu mahoni itu dengan hati-hati. Tangan kurusnya gemetar.

Bersamaan itu terdengar deru mobil memasuki halaman. Surti tersentak. Itu mobil Pramono!

Segera Surti meraih tas yang tersampir pada lengan kursi. Setengah berlari ia ke luar rumah, bermaksud menyongsong kekasihnya yang baru saja tiba. Tapi mendadak langkahnya terhenti. Ia termangu. Menatap sosok yang turun dari mobil. Bukan Pramono. Melainkan seorang perempuan, cantik, berpayung, menatapnya sinis.

“Jadi ini gadis bodoh itu? Bagaimana, Mas Pram?  Siapa yang kau pilih di antara kami? Aku, istrimu, atau gadis yang kau jadikan pacar gelapmu ini?” perempuan itu menoleh ke arah Pramono yang duduk di belakang kemudi. Pramono tidak bersuara, hanya diam tertunduk.

“Kau lihat, bukan? Pria pujaanmu ini tidak bisa berbuat apa-apa terhadapmu. Jadi semua kuanggap selesai,” perempuan itu menatap Surti tajam. Lalu berbalik. Ia masuk kembali ke dalam mobil, menutup pintunya keras-keras. “Kita pulang!” serunya lantang.

Mobil menderu meninggalkan halaman. Surti masih berdiri termangu. Menatap jejak mobil yang tertinggal.

Sementara hujan semakin menggila. Tangan kurus Diman menyentuh pundak Surti. Lelaki itu tampak murung. Ia paham betul, bagaimana perasaan putrinya saat ini.

“Tukar bajumu, Nduk. Nanti kamu sakit,” Diman berkata pelan.

“Ayah, berikan Topeng Malangan itu. Surti ingin menari,” Surti berkata gemetar. Wajah cantiknya menegang. Diman terhenyak melihatnya, ia menangkap sekelebat sorot mata anak gadisnya itu, sorot mata nanar.

Laki-laki tua itu mengulurkan tangan. Menyentuh punggung putrinya sekali lagi. Lalu dengan penuh kasih ia membantu memasangkan Topeng Malangan pada wajah Surti dengan hati-hati.

***

Aroma melati merebak. Gamelan mengalun rampak. Hujan kian meluruh.

Diman duduk terpekur melantunkan tembang Megatruh.

Kabeh iku mung manungsa kang pinunjul

Merga duwe lahir batin    

jroning urip iku mau

Isi ati klawan budi

iku pirantine ewong

*Terjemahan

Semua hanya manusia yang memiliki kelebihan

Karena memiliki lahir batin

dalam kehidupan ini

Isi hati dan akal budi

itulah yang diperlukan

Sementara di balik wajah topeng genduk yang manis, Surti menangis. Menumpahkan air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan.

***

Malang, 24 April 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun