Andai aku mampu mengubah akhir kisah kita, Qais, tentu hal itu sudah aku lakukan.
“Laila, Qais benar-benar sudah majnun!”
Lagi-lagi kalimat itu. Sungguh, aku tidak suka mendengarnya. Sangat tidak suka. Menurutku kalimat itu memiliki kedudukan paling rendah. Bukankah majnun itu artinya gila? Tidak, Qais, aku mencintaimu karena kau seorang pemuda yang waras. Bukan pemuda abnormal, seperti yang pernah dikatakan Ayahku ketika iring-iringan kafilah utusan keluargamu datang meminangku.
Maafkan aku, Qais, jika sore itu aku tidak mampu melakukan apa-apa kecuali menangis. Sore di mana Ayahku menolak mentah-mentah lamaranmu.
“Ia pemuda dekil, jorok dan menyedihkan. Sudah lama tubuhnya tidak tersentuh air. Dan satu lagi, ia lebih suka bergaul dengan hewan-hewan liar. Andai kau memiliki anak gadis apakah akan rela memberikan anakmu kepada pemuda yang demikian?” Ayahku mengemukakan alasan mengapa ia tidak mengizinkan aku menikah denganmu.
Qaisku, dari balik kelambu kamar aku melihatmu. Di mataku kau masih pemuda tampan dengan wajah bersinar. Meski pakaian yang kau kenakan sore itu terkesan sangat sederhana untuk ukuran keluarga bangsawan seperti keluargaku. Tapi bagiku kau tetap menawan, jauh lebih menawan dari para pangeran dalam dongeng seribu satu malam.
“Laila, Qais bertambah majnun!”
Duh, Qais, penulis-penulis itu, pendongeng-pendongeng itu, mereka semakin santer menguasai pikiran. Menyudutkan karaktermu di hadapan para pembaca. Meninggalkan jejak seolah-olah kau pemuda paling mengenaskan di sepanjang dunia kisah.
Tidak, Qais, itu tidak boleh terjadi. Kesan tentangmu harus segera diubah.
“Qais tidak majnun!”
Itulah kalimat pertama yang kutulis.