"Kami bisa menjaga diri, Nak. Percayalah," Nenek menatapku tegar. Aku masih belum beranjak. Pikiranku masih buntu. Hh, lagi-lagi aku menggeram. Menyalahkan diri sendiri yang teramat begitu bodoh karena tak bisa melindungi dua perempuan lemah yang kini entah bagaimana keadaan mereka. Â Â
Kalau saja ada sedikit pencerahan. Ah....
Tetiba pikiranku tertuju pada seseorang. Pak tua itu! Kenapa tidak? Aku beranjak.
"Nek, aku bisa menitipkan kalian pada Pak tua itu!" aku berseru girang. Ya, satu-satunya orang yang bisa membantuku adalah dia. Buru-buru aku melangkah menuju rumah Pak tua yang hanya berbatas pagar bambu dengan rumah Nenek.
Laki-laki berumur itu tengah memasang palang pintu kandang ketika aku datang. Ia melambaikan tangan ke arahku.
"Pak tua, bisa kita bicara sebentar?" aku bertanya setengah gugup. Pak tua mengangguk.Â
"Bunda Fatima dan Cinta menghilang..." aku mengadu. Pak tua tampak terkejut.Â
"Kapan itu?"
"Bunda Fatima kemarin usai dari menjenguk anak-anak."
"Ceritakan kronologinya."
"Saat kami tiba di rumah, ternyata mantan suami Bunda Fatima sudah menunggu. Laki-laki itu memaksa agar Bunda Fatima menyerahkan kunci asli rumah yang ditempati. Mereka beradu mulut. Ketika laki-laki itu melayangkan tangannya pada wajah Bunda Fatima, amarah saya tersulut. Saya menonjok laki-laki itu. Tapi ia balas menyerang saya. Dengan sebuah kursi ia menghantam tengkuk saya hingga saya jatuh tak sadarkan diri. Begitu siuman, saya tidak melihat sosok Bunda Fatima," aku menceritakan kembali kejadian yang kami alami.