Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelaki yang Menggunting Daun (Sepenggal Kisah Bung Karno)

13 Februari 2016   10:02 Diperbarui: 13 Februari 2016   11:01 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laki-laki itu masih juga menggunting daun. Hingga luruh beberapa helai di ujung kakinya. Ia ikhlas meninggalkan semua. Selayak daun yang dipetik paksa dan melayang jatuh mencium tanah. Segala bentuk kemewahan, jika memang makan sayur lodeh lantas pantas disebut sebagai kemewahan, rela ia tinggalkan. Seluruh harta benda, barang-barang berharga, luasnya istana, ya...tak menyurutkan langkah kakinya untuk pergi. Sebab memang bukan kemewahan yang ia cari.

Ia teramat sangat mencintai bangsa dan negeri ini. Itulah tujuan hidup sesungguhnya.

Hingga waktu merebut semuanya. Mengusik mimpi dan cintanya. Ia tak mampu lagi mempertahankan raganya sendiri. Raga yang sekian lama ikut berjuang namun tak pernah mendapat perhatian selayaknya. Lihatlah, ia bahkan tak sempat memikirkan dirinya sendiri, kesehatannya sendiri yang bagi sebagian orang merupakan harta tak ternilai.

Ia memang tinakdir terlahir untuk memikirkan negeri ini.

Laki-laki itu masih menggunting daun. Ia menuangkan segala resah, gelisah, asa, pada setiap helai yang terpotong. Tatapannya kosong. Ia menunggu. Akankah daun yang diguntingnya segera bertunas membentuk batang yang kokoh? Menggerumbul selayak pohon beringin yang pernah diwujudkannya dalam salah satu sila negara? Pohon yang secara simbolis memiliki makna besar. Mengayomi. Meneduhkan. Mencintai. Bersatu padu.

Ia masih ingin menggunting daun, ketika seorang sahabat sejatinya, seperjuangan, menjenguknya. Di sebuah kamar sempit yang menjadi saksi bisu. Di mana dua anak manusia yang pernah mengukir sejarah itu saling berpelukan.

''Bagaimana kabarmu, No?"

"Bagaimana pula kabarmu, Hatta?"

Ah, sebuah percakapan yang membuahkan tangis. Air mata berlomba jatuh. Luruh satu-satu semirip dedaunan yang pernah diguntingnya. Air mata sahabat melayang membasahi wajah yang terbaring lemah. Beningnya meleleh membasuh hati yang pedih karena luka. Mencintai bangsa dan negara sendiri yang tak pernah mengerti apa itu arti cinta dan perjuangan, bukankah sangat memedihkan? Atau mungkin ia yang mesti belajar sabar. Menunggu sejarah membuktikan, bahwa cintanya pada bangsa dan negara ini adalah cinta yang tak bisa diibaratkan lagi.

Beberapa jenak hening mencekam. Yang ada hanya gemuruh dua hati yang tak pernah diam memikirkan hal yang sama. Bangsa dan negara.

Laki-laki yang pernah menggunting daun itu pun akhirnya benar-benar pergi. Ia berpulang selamanya ke istana Illahi Robbi. Setelah terlebih dulu ia menjabat erat jemari sahabatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun